KKR Aceh Serahkan 4765 Laporan Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Berat ke DPRA

pertemuan pers di Kantor KKR Aceh, foto : Naszadayuna/analisaaceh.com

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menyatakan sebanyak 4765 laporan kesaksian korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Aceh. Laporan itu diserahkan dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (12/12/2023).

Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya mengatakan KKR Aceh memulai pengambilan pernyataan pada tahun 2017 di lima wilayah, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Selatan.

Selanjutnya, sejak Oktober 2018, Komisi memperluas wilayah kerjanya di tujuh wilayah baru meliputi Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, dan Aceh Barat.

“Pada 2021, menyelenggarakan pengambilan pernyataan di 17 kabupaten/kota, 138 kecamatan, dan 775 desa,” ujarnya Rabu (13/12/2023).

Laporan Temuan KKR Aceh dibuat berdasarkan analisis atas 4.675 pernyataan saksi dan korban dari total 5.195 pernyataan yang berhasil dikumpulkan.

“Dalam Laporan temuan ini terdapat 4 bentuk tindak kekerasan, yaitu penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan dan penghilangan paksa yang terjadi sepanjang konflik bersenjata berlangsung,” katanya.

Temuan dari laporan ini adalah sebagai berikut Pada periode konflik 4 Desember 1976 15 Agustus 2005 sesuai mandat Qanun No.17 tahun 2013, pada kurun waktu ini telah ditemukan pelanggaran HAM sistematis dalam skala yang masif dan secara meluas terhadap masyarakat sipil.

“Dari ribuan kesaksian yang terkumpul oleh KKR Aceh, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi mencapai titik batas (threshold) yang ditetapkan hukum hak asasi manusia internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang,” ujarnya.

Komisi juga menemukan bahwa pertanggungjawaban moral, institusional, maupun pertanggungjawaban individu para pihak yang terlibat konflik bersenjata yang telah melakukan pembunuhan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual selama periode konflik, dengan impunitas yang hampir total.

Pada periode konflik 4 Desember 1976 hingga 15 Agustus 2005, beberapa kasus pelanggaran oleh para pihak yang telah melanggar kewajibannya untuk melindungi masyarakat sipil di bawah Pasal Umum 3, Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan II 1997.

Pasal ini, melarang tindakan terhadap masyarakat sipil (civilians) dan kombatan yang telah menyerahkan senjata, termasuk pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, dan tindakan yang manusiawi dan atau merendahkan martabat manusia.

“Keterlibatan dan pertanggungjawaban korporasi/ perusahaan internasional atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan juga telah terjadi di Aceh,” paparnya.

Laporan ini juga memuat juga rekomendasi perlindungan HAM di masa mendatang seperti Perubahan Hukum, Politik dan Administratif, Perubahan Hukum dan Reformasi Institusi, Kebijakan Politik, Kebijakan Administratif, Rekomendasi untuk Rekonsiliasi Berbasis Kearifan Lokal.

Rekomendasi tentang Reparasi, Rekomendasi untuk Tindakan Hukum Pada Pelaku Pelanggaran HAM serta Rekomendasi berkaitan Tindakan Lainnya berupa Budaya dan Pembelajaran HAM, Pemulihan Trauma Individu dan Kolektif, Penyebaran Laporan Temuan KKR Aceh di Indonesia dan Masyarakat Internasional, Arsip-Arsip KKR Aceh dan Museum HAM.

Komentar
Artikulli paraprakCerita Rohingya Datang ke Indonesia, Berharap Ada Kehidupan Lebih Layak
Artikulli tjetërDua Pengedar Narkoba di Aceh Tamiang Dibekuk Polisi