Analisaaceh.com, Banda Aceh | Pemerintah Aceh resmi menetapkan Pedoman Pelaksanaan Reparasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh melalui Keputusan Gubernur Nomor 100.3.2/1180/2025.
Regulasi ini menjadi tonggak penting bagi korban konflik masa lalu, karena membuka jalan bagi pemenuhan hak mereka tanpa harus melalui mekanisme bantuan sosial (bansos) seperti sebelumnya.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Mastur Yahya, menyambut baik keputusan yang ditandatangani Gubernur Muzakkir Manaf (Mualem) pada 29 September 2025 tersebut.
Ia menilai, pedoman ini menegaskan prinsip dasar keadilan bagi korban: pemulihan yang berkelanjutan dan tidak diskriminatif.
“Dalam pedoman ini dijelaskan bahwa hak korban tidak dibatasi oleh status sosial atau ekonomi. Baik kaya maupun miskin, sehat atau sakit semua berhak atas pemulihan. Korban juga bisa menerima lebih dari satu bentuk layanan reparasi,” ujar Mastur dalam Media Briefing KKR Aceh, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, keunikan dari regulasi baru ini terletak pada pemisahan mekanisme reparasi dari skema bansos pemerintah yang selama ini menimbulkan ketimpangan.
Dengan pedoman baru, bantuan kepada korban dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk: mulai dari rehabilitasi fisik dan psikososial, kompensasi materiil (Asoe Batee Damee), hingga memorialisasi dan jaminan ketidakberulangan.
“Selama ini, korban yang pernah menerima bansos sering kali tidak bisa lagi mendapat reparasi karena dianggap sudah dibantu. Padahal, prinsip keadilan transisional menegaskan bahwa hak atas pemulihan tak bisa dibatasi satu kali saja,” jelasnya.
Pengalaman pada 2022 menjadi pelajaran penting. Saat itu, proses reparasi mendesak harus dijalankan lewat mekanisme bansos karena belum ada dasar hukum khusus.
Kondisi itu menimbulkan kritik dari para korban dan pegiat HAM yang menilai pendekatan bansos tidak sepadan dengan makna reparasi yang seharusnya berfokus pada pemulihan menyeluruh, bukan sekadar bantuan ekonomi.
Dalam pelaksanaannya, KKR Aceh telah menyerahkan 5.195 data korban ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk diverifikasi oleh 14 kabupaten/kota.
Sebagian korban memang pernah menerima bantuan seperti PKH atau BLT, namun hal itu kini tidak lagi menjadi penghalang untuk memperoleh reparasi berdasarkan pedoman baru.
Sejak 2020, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) juga telah memasukkan 2.680 data korban rekomendasi KKR ke dalam dua program utama: pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial. Sementara di tingkat daerah, Kabupaten Aceh Timur tercatat telah mengintegrasikan 334 data korban ke dalam rencana kerja pemerintah setempat.
Mastur menegaskan, Keputusan Gubernur ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan bukti bahwa negara hadir untuk memulihkan martabat kemanusiaan korban konflik di Aceh.
KKR, katanya, tetap akan berperan aktif dalam pemantauan, penyediaan data, dan penagihan komitmen pelaksanaan reparasi.
“Keputusan ini bukan simbol politik, tapi langkah nyata untuk menegakkan kemanusiaan. Kami berharap implementasinya bisa segera berjalan bertahap tahun ini,” tutupnya.




