Oleh: dr. Nila Frisanti
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia, dengan keadaan sehatlah manusia dapat beraktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya dengan baik. Kita sudah melihat bagaimana pandemi Covid-19 melumpuhkan berbagai sektor kehidupan di seluruh dunia. Pandemi yang masih melanda dunia termasuk Indonesia telah mengajarkan kita banyak hal tentang pentingnya kesehatan.
Berbicara tentang kesehatan, sudah pasti di dalamnya termasuk tentang mutu pelayanan kesehatan, yang tentu saja tak ada habisnya untuk dibahas sepanjang kehidupan manusia. Semakin hari, seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan pengetahuan masyarakat, apalagi di wilayah perkotaan, tuntutan terhadap mutu pelayanan kesehatan pun semakin tinggi dan tidak dapat dihindari.
Sampai saat ini mutu pelayanan kesehatan memang menjadi isu kesehatan yang penting baik di daerah, nasional maupun internasional.
Peningkatan mutu pelayanan merupakan hal yang sangat krusial dalam suatu manajemen instansi kesehatan, baik di milik pemerintah maupun swasta. Mutu pelayanan kesehatan merupakan derajat pelayanan kesehatan yang sesuai standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan secara efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan secara norma, etika, hukum, dan sosial budaya.
Mutu pelayanan kesehatan memang sangat kompleks, dan sering dihubungkan dengan tingkat kepuasan pasien/ klien yang kenyataannya perspektif pasien/ klien ini sangat lah subjektif, sangat tergantung pada pengalaman dan pengetahuan pasien/ klien tersebut.
Terkadang ketika pelayanan yang diberikan sudah sesuai standar profesional kesehatan, pasien/ klien bisa saja merasa tidak puas karena tidak sesuai seperti keinginannya. Begitupun sebaliknya, pasien/ klien bisa merasa sangat puas dengan pelayanan yang diberikan karena harapannya terhadap pelayanan kesehatan berada jauh di bawah kinerja (performance) layanan kesehatan yang diterimanya. Jadi, tingkat kepuasan setiap pasien/ klien dapat berbeda-beda terhadap mutu satu pelayanan yang sama.
Nilai kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ini timbul dari adanya perbedaan antara harapan dan persepsi mereka terhadap pelayanan kesehatan yang mereka terima. Ketika harapan masyarakat akan suatu pelayanan kesehatan lebih tinggi dari persepsi mereka maka akan melahirkan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan tersebut.
Sebaliknya ketika persepsi masyarakat lebih tinggi dari harapan mereka maka akan timbul suatu kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Andika di salah satu Puskesmas di Kota Banda Aceh pada Maret 2017 menunjukkan bahwa kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas tersebut hanya 46,5%. Kemudian pada Desember 2019, sebuah penelitian lain dilakukan oleh Qibtiya di Puskesmas yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa 48% responden merasa kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan di Puskesmas tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa, kerja keras layanan kesehatan senantiasa (dan tentunya memang) harus ditingkatkan secara berkesinambungan dalam mewujudkan kepuasan masyarakat, serta memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang optimal dan berorientasi keselamatan pasien (patient safety) bagi masyarakat selaku pengguna layanan kesehatan. Dan sudah tentu hal ini membutuhkan proses dan melibatkan banyak pihak termasuk dukungan/ umpan balik dari masyarakat sendiri dan juga membutuhkan dukungan para stakeholders.
Apalagi dalam keadaan kebiasaan baru (new normal era) saat ini, dimana fasilitas kesehatan dituntut untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan berbagai adaptasi baru. Beban kerja tenaga kesehatan (nakes) pun harus diakui terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan sebelum pandemi.
Mereka harus menyelesaikan masalah-masalah kesehatan yang memang sudah menumpuk sebelum pandemi terjadi, dan juga memutus rantai penularan Covid-19 di lingkungan masyarakat. Belum lagi risiko mereka tertular Covid-19 yang mengancam kapan saja saat mereka melaksanakan pekerjaannya.
Beban kerja, risiko pekerjaan, dan tuntutan peningkatan mutu tentunya bersinggungan dengan ketersediaan sumber daya dan penghargaan (insentif). Peningkatan beban kerja, sumber daya, insentif dan peningkatan mutu merupakan komponen yang akan saling mempengaruhi dan harus sejalan dalam penerapannya.
Suatu pesan moral yang saya dapatkan dalam sebuah video inspirasi dari rumah sakit Cleveland Clinic yaitu: “hear what they hear, see what they see, feel what they feel”, yang artinya kurang lebih seperti ini, “mendengar apa yang mereka dengar, melihat apa yang mereka lihat, merasakan apa yang mereka rasa”. Pesan ini mempunyai arti yang sangat dalam.
Dokter, dokter gigi, perawat, bidan dan nakes lain, begitu juga manajer serta para petugas lain yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan bertemu dengan klien/ pasien dan keluarganya dari berbagai latar belakang dan keadaan kesehatan yang berbeda di fasilitas layanan kesehatan dalam berbagai situasi. Masing-masing tidak ada yang tahu bagaimana suasana hati dan kesulitan hidup apa yang sedang dihadapi baik oleh nakes/ petugas maupun oleh klien/ pasien.
Karenanya membangun suatu hubungan profesional nakes/ petugas dan klien/ pasien dengan dasar rasa empati sangat lah penting. Sehingga dari sini akan lahir jalinan komunikasi yang nyaman dengan prinsip saling menghargai.
Budaya empati akan sangat membantu membangun persepsi yang baik dalam hubungan nakes/ petugas dengan klien/ pasien. Sehingga bukan tidak mungkin persepsi klien/ pasien akan melampaui batas harapan mereka sehingga menciptakan kepuasan mendalam terhadap pelayanan kesehatan yang diterima.
Dalam lima dimensi mutu yang dikembangkan oleh Pasuraman, dkk (1985), empati juga merupakan salah satu variabel yang akan mempengaruhi kepuasan klien/ pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan, di samping variabel lainnya, yaitu keandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), bukti fisik (tangible), dan kepastian (assurance).
Perlu dipahami kembali bahwa pelayanan kesehatan tidak hanya sekedar untuk memuaskan keinginan klien/ pasien, akan tetapi juga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar profesional. Mutu pelayanan kesehatan akan baik apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan prosedur kesehatan serta memenuhi kebutuhan klien/ pasien (patient-centered).
Meskipun tercapainya keinginan tentunya berimbas pada pencapaian kepuasan, namun yang utama harus dipenuhi adalah apa yang dibutuhkan klien/ pasien untuk perbaikan derajat kesehatannya.
Penulis merupakan mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.