Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Lhokseumawe menggelar kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) bersama mitra kerja di salah satu coffe di Lhokseumawe, Rabu (25/10/23). Kegiatan diskusi ini mengusung tema ‘kajian hukum pengawasan tahapan pemilu 2024.
Diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara yakni praktisi hukum, Dr Yusrizal dan Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe, Iptu Ibrahim.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh Ketua KIP Lhokseumawe, Abdul Hakim, Kesbangpol, bagian hukum Setdako Lhokseumawe, akademisi pengamat politik dan lembaga bantuan hukum serta perwakilan organisasi pers.
Dr Yusrizal mengawali pemaparannya dengan menjelaskan payung hukum pelaksanaan pemilu serta pedoman bagi penyelnggara yakni PKPU nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilihan umum. Dalam pemaparannya, dosen Unimal ini mendefinisikan perbedaan antara alat peraga kampanye dan alat peraga sosialisasi, sesuai dengan perspektif hukum. Yusrizal juga menjelaskan terkait waktu dan lokasi pemasangan alat peraga berikut sanksi atas pelanggaran sebagaimana amanah peraturan KPU tersebut.
Secara bergantian, perwakilan mitra kerja penyelenggara pemilu dalam diskusi ini memberi masukan dan menyampaikan pendapat yang bersifat konstruktif. Diskusi menjadi hangat ketika para audien mempertanyakan keberadaan alat peraga kampanye seperti spanduk dan baliho yang bertebaran di Kota Lhokseumawe. APK tersebut dinilai mengganggu dan sebagian menyebut para bacaleg mencuri start kampanye.
Untuk diketahui, daftar calon tetap (DCT) caleg, baru akan diumumkan pada 4 November mendatang. Sementara kampanye akan berlangsung selama 75 hari atau mulai 28 November – 11 Februari 2024.
Sesuai PKPU, sebelum tahapan kampanye dimulai, peserta pemilu hanya dibolehkan memasang alat peraga sosialisasi (APS). APS dimaksud yakni bendera partai, lambang dan nomor urut partai politik. Sementara spanduk dan baliho yang banyak dipasang sudah termasuk kategori alat peraga kampanye, karena telah memuat ajakan, visi misi dan atau citra diri.
Diskusi mengerucut pada domain pihak mana yang lebih berhak melakukan penertiban. Merujuk pada PKPU, penyelenggara belum bisa melakukan penertiban karena saat ini belum masuk tahap kampanye. Alat peraga yang dipasang ini diklaim belum masuk kategori pelanggaran pemilu, karena para bacaleg yang memasang baliho tersebut belum ditetapkan sebagai caleg atau belum menjadi peserta pemilu 2024.
Namun, forum diskusi ini menyepakati bahwa pemasangan spanduk dan baliho secara serampangan ini telah melanggar aturan pemerintah daerah dan mengurangi estetika tata kota. Sehingga penertiban lebih tepat menjadi domainnya pemerintah.
Ketika dimintai tanggapannya oleh moderator, Maskur, SH dari bagian hukum Setdako Lhokseumawe mengakui pihaknya juga sudah merasa resah dengan alat peraga yang dipasang oleh peserta pemilu.
“Namun karena isu pemilu ini sangat sensitif sehingga pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Pemko bersama penyelenggara dalam waktu dekat ini akan menerbitkan himbauan,” ujar Maskur.
Komisioner Panwaslih Kota Lhokseumawe, Yuli Asbar dalam kesimpulan diskusi ini juga menyinggung pertemuan pihaknya beberapa hari lalu dengan Penjabat Wali Kota Lhokseumawe yang menyepakati pemerintah akan menggelar pertemuan intens dengan penyelenggara pemilu untuk penurunan alat peraga tersebut.
Langkah hati-hati ini ditempuh, kata dia, agar saat penertiban dilakukan tidak ada kericuhan.
“Kita ingin sampaikan bahwa penurunan alat peraga ini bukan karena aturan pemilu, tapi kita sepakati penurunan ini karena melanggar peraturan perundang-undangan pemerintah daerah dan tata kota. Kita berharap, sebelum penetapan DCT, alat peraga ini sudah bersih” demikian Yuli Asbar.