Analisaceh.com, Banda Aceh | Terkait penataan dan penertiban kawasan bantaran Krueng Aceh, warga menilai Pemerintah tidak berlaku adil.
Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang warga Desa Bakhoi yang tinggal di wilayah sekitar bantaran Krueng Aceh, Teuku Burhanuddin (52). Ia menilai, pemerintah tebang pilih atas dasar keberadaan bangunan gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang dianggap oleh pemerintah tidak termasuk ke dalam wilayah bantaran Krueng Aceh.
“Kalau memang dibongkar, ya gedung itu juga dibongkar, jangan ada pilih kasih. Ini nanti bangunannya si A dibongkar sedangkan bangunan si B enggak. Nggak gitu, harus adil dan merata,” kata Burhanuddin, Rabu (19/8/2020).
Padahal diketahui, tanah tempat bangunan gedung ANRI tersebut adalah tanah negara yang dilarang untuk masuk ataupun memanfaatkannya. Sebagaimana tertera pada pamplet yang berada tepat di samping gerbang masuk gedung itu, yang dibuat oleh Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Sumatera – 1.
Bahkan tertulis jelas menunjukkan bahwa itu tanah negara dan jika ada yang berani atau melanggar akan dikenakan sanksi berupa hukuman pidana.
“Gedung itu belum lama dibangun, padahal setau kami di tanah itu dan sekitarnya pohon besar aja tidak dibiarkan ada,” ungkap Burhan.
Kemudian, Burhan mengungkapkan sudah lama menggunakan lahan sekitar bantaran sungai itu dan ia beserta warga lain juga mengetahui bahwa tanah itu milik negara. Hanya saja karena terlihat terbengkalai mereka memanfaatkankan lahan kosong tersebut.
“Dulu itu pernah ada aturan dari Keuchik, bahwa kami diberikan izin menggunakan lahan kosong itu, tapi dengan syarat tertentu juga,” jelas Burhan.
Selain Burhan, Zakaria, pemilik usaha Ngoh Ya Ngopi yang berada di bantaran sungai Krueng Aceh itu mengaku juga mengetahui bahwa bangunan yang dibangun pihaknya itu berada di atas tanah milik negara.
“Bukan saya tidak tahu aturan, tapi dari pada lahan ini tidak dipakai sama sekali, kan lebih baik dimanfaatkan, apalagi di sekitar sini dulunya adalah tempat rawan maksiat,” kata Zakaria.
Sambung Zakaria, pihaknya menerima jika memang pemerintah harus melakukan pembongkaran, tapi ia meminta benar-benar harus konsisten jangan sampai jadi tanah terbengkalai kembali.
“Kalau dibilang penertiban ini dilakukan untuk menghindari banjir, sudah puluhan tahun alhamdulillah wilayah di sini tidak mengalami banjir,” tutur Zakaria.
Ia menambahkan, sebenarnya daripada dilakukan penataan kanal banjir ini, pemerintah lebih baik membuat program pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai.
Selanjutnya, terkait gedung ANRI tersebut Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Aceh, Teuku Ahmad Dadek mengatakan bahwa gedung tersebut didirikan di tanah milik sendiri, bukan tanah milik negara.
“Yang kita tata adalah aset kementrian PUPR. Sedangkan gedung ANRI itu adalah milik mereka sendiri dan bukan dibantaran sungai tapi di sepadan sungai, jadi jangan salah-salah nanti jangan salah-salah persepsi,” jelas Dadek.
sambung Dadek, bangunan gedung ANRI tidaklah termasuk dalam upaya pihaknya mengamankan aset negara, karena gedung itu merupakan aset mereka sendiri.
“Kalau di bantaran sungai kita tidak pandang bulu, semuanya harus dikembalikan kepada fungsi semula. Sudah 25 tahun dipakai, jadi masyarakat harus kembali berhitung dengan negara karena ini fungsingnya untuk pengendalian banjir,” pungkas Dadek.