Analisaaceh.com, Banda Aceh | Masyarakat Nagan Raya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh melayangkan gugatan terhadap Ketua Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue dan Ketua PN Meulaboh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Gugatan tersebut karena kedua PN tak kunjung mengeksekusi PT. Kallista Alam (KA) terkait perkara perusakan lingkungan di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
Kepala Operasional YLBHI LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat mengatakan bahwa sebelumnya LBH telah mengirimkan somasi ke PN Suka Makmue agar segera melakukan eksekusi terhadap PT KA.
“Tetapi somasi ini tidak pernah ditanggapi hingga saat ini,” ujarnya, Rabu (5/10/2022).
Qodrat menjelaskan, perkara tersebut bermula pada tahun 2012 saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT KA ke PN Meulaboh karena dianggap melanggar hukum.
PT KA yang merupakan perusahaan kelapa sawit ini menyebabkan kebakaran lahan seluas 1000 hektar dan juga masuk pada Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sehingga melanggar hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berdasarkan gugatan tersebut, PN Meulaboh menghukum PT KA untuk membiayai ganti rugi sebesar Rp114 miliar dan tindakan pemulihan lingkungan Rp251 miliar. Sehingga total keseluruhan Rp366 miliar serta uang jika keterlambatan pembayaran keputusan sebanyak Rp5 juta per hari.
“Pengadilan juga telah meletakkan sita jaminan terhadap tanah, bangunan dan tanaman di atas area Hak Guna Usaha (HGU) PT KA seluas 5.769 hektar yang menjadi penjamin atas putusan pengadilan tersebut,” ujar Muhammad Qodrat.
Namun PT KA tidak melaksanakan putusan pengadilan, PN Suka Makmur maupun Meulaboh tidak mengeksekusi objek sita jaminan PT KA sehingga upaya pemulihan perusakan jaminan tidak terjalankan.
Putusan dalam perkara PT KA, kata Qodrat, telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak tanggal 28 Agustus 2015 saat keluar putusan Kasasi Mahkamah Agung yang menolak permohonan Kasasi PT KA.
KLHK telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PN Meulaboh pada 3 November 2016, kemudian ketua PN Meulaboh mengeluarkan penundaan pelaksanaan eksekusi sampai dengan turunnya keputusan peninjauan kembali (PK) dari MA yang telah diajukan oleh PT KA.
“Pada 8 Februari 2017 KLHK mengajukan kembali permohonan eksekusi kedua kalinya, tapi PN Meulaboh tetap pada pendiriannya dengan menunggu putusan MA sehingga akhirnya MA mengeluarkan putusan penolakan PK dari PT KA,” tutur Qodrat.
Tak cukup disitu, PT KA mengajukan gugatan kepada KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha Kita, BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh yang didaftarkan pada PN Meulaboh yang kemudian dikabulkan oleh PN Meulaboh.
“Untungnya gugatan ini dibatalkan oleh pengadilan Tinggi Banda Aceh dan menyatakan gugatan tersebut tidak diterima,” jelasnya.
Kemudian pada 22 Januari 2019, PN Meulaboh meminta bantuan eksekusi PN Suka Makmue untuk menjual lelang objek sita jaminan PT KA, hal ini karena objek sita tersebut tidak berada lagi dalam wilayah hukum PN Meulaboh, namun sudah 7 tahun semenjak keputusan eksekusi sitaan ini belum juga terealisasi.
“Untuk itu maka kami membutuhkan upaya hukum dalam mendesak kedua PN agar melakukan eksekusi terhadap Objek Sita Jaminan PT KA dengan mengajukan gugatan warga negara ini,” pungkasnya.