Analisaaceh.com | Lhoksukon – Penandatanganan perjanjian damai antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu dinilai belum berhasil mengangkat martabat bangsa Aceh menjadi lebih baik. Aceh dinilai gagal menjadi tuan di negerinya sendiri setelah 14 tahun perjanjian damai ditandatangani.
Esensi kesempatan damai RI dan GAM tahun 2005 di Hotel Smolna Helsinki sepanjang Januari hingga Agustus 2005 yang kemudian dikenal dengal MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki adalah penyelesaian konflik Aceh secara damai, adil dan bermartabat bagi semua dengan menyetujui 71 butir kesepakatan. Salah satu kesepakatan yang dituangkan ke dalam MoU Helsinki yaitu; Kesetaraan dalam memerintah di Aceh antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat dalam bingkai NKRI.
“Bukan dalam arti hubungan Aceh sebagai bawahan atau pusat sebagai atasan. Atau dengan kata lain Jakarta sebagai tuan dan Acèh sebagai lamiët” kata Juru Bicara DPW Partai Aceh Kabupaten Aceh Utara, Amiruddin B, SIP dalam rilisnya sebagai refleksi 14 tahun perjanjian damai Aceh yang bertepatan pada hari ini.
Menurut Amiruddin, hal ini terlihat pada point 1.1.2 MoU Helsinki yaitu undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintah di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
A. Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakn bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi.
B. Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan hal Ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengab konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
C. Keputusan-keputusan DPR-RI yang terkait dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
D. Kebijakan-kebijakann administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan kepala pemerintah Aceh.
Berdasarkan point 1.1.2 tersebut, kata Amiruddin, jelas sekali pembagian wewenang dan hubungan antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Belum lagi poin-poin MoU Helsinki yang mengatur tentang politik, ekonomi, perundang-undangan dan hak asasi manusia.
“Tetapi dalam UUPA 2006 sebagai perintah MoU tidak mengakomodir semua butir-butir MoU dan bahkan ada pasal-pasal dalam UUPA bertentangan dengan MoU Helsinki tersebut. Seperti; Penambahan kewenangan pemerintah pusat yaitu kewenangan pemerintah pusat di Aceh yang bersifat nasional dan yustisi (UUPA pasal 7). Kemudian dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya PP no 3 tahun 2015 tentang kewenangan pemerintah pusat yang bersifat nasional di Aceh” sebut Amiruddin.
Jubir PA Aceh Utara ini menyebut, dampak dari penambahan kewenangan pemerintah pusat tersebut yakni terampasnya semua kewenangan Aceh dalam hal mengatur sektor publik yang berkarakteristik keacehan dan islami.
Atas dasar persoalan itulah, KPA mengajak masyarakat Aceh agar sama-sama;
I. Mendesak para pihak yang terlibat dalam proses perdamaian Aceh seperti GAM, RI, CMI dan Uni Eropa untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh isi perjanjian tersebut, serta mencari solusi untuk menyelesaikan perjanjian yang belum berjalan secara sempurna dan menyeluruh.
II. Mendesak pemerintah pusat merevisi UUPA dengan mengakomodir semua butir-butir perjanjian damai MoU Helsinki.
“Sehingga penyelesaian konflik ini benar-benar adil dan bermartabat bagi semua sehingga mengembalikan marwah Aceh bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya, koen bangsa lamiet Jakarta” demikian Amiruddin.