DPRA Gelar Pertemuan dengan Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA

ANALISAACEH.com, BANDA ACEH | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengadakan pertemuan dengan Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA di ruang rapat Badan Anggaran DPRA, Jum’at (07/02/2020).

Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPRA, H. Dahlan Jamaluddin, S.IP didampingi oleh Wakil Ketua, Safaruddin, S.Sos, M.S.P beserta para Ketua Fraksi dan juga anggota Komisi I DPR Aceh yakni Zainal Abidin, S.Si, M. Rizal Falevi Kirani, Ir. H. Azhar Abdurrahman dan Darwati A. Gani.

Dalam Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA itu, Teuku Kamaruzzaman, SH dan Prof. Dahlan, SH, MH merupakan penanggung jawab. Sementara Ketua Tim adalah Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA, Wakil Ketua, Prof. Dr. Jamaluddin, S.H, M.Hum, Sekretaris Zainal Abidin, SH, M.Hum, dan anggota masing-masing Prof. Dr. Ilyas, SH, M.Hum, Rustam Effendi, SE, M.Econ, Dr. Sanusi Bintang, SH, M.L.I.S, LLM, Muhammad Ya’kob Aiyub Kadir, LLM, PhD, Sufyan, SH, MH, Dr. Taufik C. Dawood, SE, M.Ec.Dev, Dr. Irwan Saputra, S.Kep, MKM, Dr. Muhammad Abrar, SE, M.Si dan Zuhri, SH, MH.

Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas kerja Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA yang terdiri dari tokoh perdamaian Aceh dan Akademisi.

Dahlan menegaskan bahwa kerja Tim secara mandatori sudah selesai pada tanggal 30 September 2019 silam.

“Namun pada hari ini akan melaporkan kepada DPRA hasil kerja sambil memaparkan kepada Anggota DPRA yang baru menjabat terkait hasil kajian, dan selanjutnya pihaknya akan memutuskan kelanjutan dari kajian dan advokasi ini,” ujarnya.

Dahlan menjelaskan, narasi yang dibangun terkait UUPA oleh sebagian pihak hanya narasi politik, namun secara praktiknya garis demarkasi itu tidak ada, sehingga buah dari perjuangan UUPA itu sendiri seperti lahirnya Partai Lokal di Aceh juga dalam perjuangannya untuk advokasi masih terseok-seok.

“Dan sistem yang digunakan sekarang dalam demokrasi adalah masih sistem lama sehingga dinamika konflik politik dan konflik regulasi terus terjadi,” ungkap Dahlan Jamaluddin.

Penanggung Jawab Tim Kajian, T. Kamaruzzaman, SH menjelaskan, jalan panjang penyusunan kajian dan advokasi mulai dari wawancara, pengumpulan bahan dan merumuskan hasil akhir. Latar belakang kajian dan advokasi MoU Helsinki 2005 dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah beranjak dari konflik bersenjata antaran GAM dengan Pemerintah R.I telah diselesaikan melalui sebuah perundingan damai di Helsinki-Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005.

Untuk manifestasi MoU Helsinki Ini Pemerintah R.I Bersama DPR-RI telah melahirkan UUPA pada tanggal 15 Agustus 2006 di Jakarta. Dalam kenyataannya setelah lebih dari 14 tahun MoU Helsinki (2005-2019) dan 13 tahun UUPA (2006-2019), masih banyak hambatan dan kendala dalam penerpannya sebagai sebuah resolusi konflik yang berkelanjutan dan bermatabat bagi semua,” ucapnya.

Kamaruzzaman melanjutkan, tujuan akhir dari kajian dan advokasi itu adalah menjadi bahan advokasi politik, hjkum, ekonomi, sosial dan budaya dalam rangka berkelanjutan perdamaian antara pemerintah dan rakyat Aceh dengan Pemerintah RI, sehingga kesemuanya bermuara kepada keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.

“Tim juga berharap bahwa hasil kajian ini harus ada sosialisai ke Kabupaten/Kota dan Pemerintah Pusat,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA, Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA menyampaikan bahwa, dalam proses advokasi dan kajian yang selama ini dilakukan tim banyak terdapat debat panas di Jakarta, di mana banyak pejabat di sana kurang memahami konsep dan filosofi UUPA dan MoU Helsinki dan malah cenderung dilecehkan.

“Rancangan buku kajian ini sangat akurat, dan semoga menjadi bahan penguatan UUPA ke depan. Persoalan secara umum bahwa pejabat Dinas banyak menggunakan aturan nasional bukan UUPA. Ada unsur kesengajaan agar tidak lahir turunan UUPA dan dihambat padahal 2 tahun yaitu 2008 harus turun turunanya. Persoalan pertanahan digantung, padahal ada dinas pertanahan dan Kanwil BPN dengan kewenangan yang sama, berbagai jurus sudah kami keluarkan namun Menteri Agraria/Kepala BPN masih berpegang pada aturan Nasional,” jelas Prof. Farid Wajdi.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dahlan bahwa, sangat malu ketika pihaknya datang ke kab/kota di Aceh dan berhadapan dengan Pemerintah Pusat karena mereka kurang memahami UUPA dan menjadikan UUPA produk hukum nomor 2.

“Terkait dengan Pasal 192 di UUPA tentang zakat kami Tim telah beradu argument dengan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan di Jakarta agar bias diterapkan, namun masih harus menelan ludah karena jawabannya akan berkoordinasi lagi dengan atasan. Terkait dengan BPKS agar diperluas lagi kerjasama dengan Pemkab Aceh Besar di mana pengembangan dari itu mencapai sektor pariwisata di sekitar Aceh Besar dan tidak hanya di Kota Sabang,” jelasnya.

Seraya itu, Ir. H. Azhar Abdurrahman selaku anggota Komisi I DPR Aceh yang juga Ketua Banleg DPRA menyampaikan, poin-poin kajian yang disampaikan diharapkan bisa mencakup secara keseluruhan dan dapat diberi masukan oleh Anggota DPRA untuk kesempurnaannya.

Sementara itu M. Rizal Falevi Kirani dari Fraksi PNA mengharapkan agar semua stakeholder di Aceh harus kompak baik dari kalangan birokrat, akademis dan politikus, sehingga semua rintangan sanggup dihadapi bersama demi penguatan UUPA dan MoU Helsinki.

“Selanjutnya perlu juga ke depan dibuat kajian ke mana Aceh akan dibawa? dan bagaimana sebenarnya yang dinamakan Self Geverment? kita sepakat revisi terbatas terhadap UUPA, karena Pemerintah Pusat belum ikhlas dengan Aceh,” tegas Falevi.

Komentar
Artikulli paraprakHasil Akhir Seleksi SKD Kabupaten Pidie 2.460 Peserta Dinyatakan Lulus Passing Grade
Artikulli tjetërCabuli Dua Santri, Polisi Tangkap Oknum Guru Ngaji di Aceh Selatan