Syariat Islam VS Tren Joget TikTok: Mampukah Aceh Menjaga Identitas Budaya?

Logo TikTok (foto ist)

Oleh: Fitria Akmal

ACEH, sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal, memiliki karakteristik budaya dan nilai-nilai religius yang kuat. Namun, di era digital ini, pengaruh global sulit dibendung, termasuk fenomena TikTok yang semakin digandrungi oleh generasi muda. Salah satu tren yang cukup mencolok adalah maraknya video joget yang kerap dianggap bertentangan dengan norma syariat Islam yang diterapkan di Aceh.

TikTok, sebagai platform media sosial berbasis video pendek, telah menjadi bagian dari kehidupan anak muda di Aceh. Menurut laporan We Are Social 2024, pengguna TikTok di Indonesia mencapai lebih dari 106 juta, menjadikannya salah satu negara dengan pengguna terbesar di dunia. Di Aceh, platform ini tak kalah populer, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Tren joget TikTok yang sering viral di Aceh menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Bagi sebagian orang, tren ini dianggap sebagai bentuk ekspresi diri dan hiburan semata. Namun, bagi kelompok yang lebih konservatif, terutama ulama dan tokoh agama, joget TikTok dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam yang diterapkan di Serambi Mekkah.

Syariat Islam dan Norma Sosial di Aceh

Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, Aceh memiliki regulasi yang mengatur perilaku masyarakat, termasuk dalam aspek hiburan dan interaksi sosial. Beberapa regulasi yang relevan dalam konteks ini antara lain Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, serta Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mengatur pelanggaran kesusilaan. Dalam konteks TikTok, banyak ulama berpendapat bahwa tren joget berlebihan, berpakaian tidak sopan, serta interaksi bebas antara laki-laki dan perempuan dalam video bisa masuk dalam kategori pelanggaran norma syariat.

Di beberapa kasus, pemerintah Aceh pernah melakukan razia terhadap individu yang dianggap melanggar syariat Islam, termasuk yang membuat konten di media sosial yang dianggap tidak pantas. Misalnya, beberapa remaja yang kedapatan membuat konten joget TikTok dengan pakaian yang dinilai tidak sesuai pernah mendapat pembinaan dari otoritas setempat. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak hanya berlaku dalam kehidupan nyata, tetapi juga merambah ke dunia digital.

Dampak Budaya Digital terhadap Identitas Aceh

Masuknya budaya digital global, termasuk TikTok, ke Aceh membawa dampak yang tidak bisa diabaikan. Ada dua sisi dalam fenomena ini. Pertama, TikTok bisa menjadi alat untuk menyebarkan dakwah dan edukasi dengan cara yang lebih menarik bagi generasi muda. Beberapa kreator di Aceh sudah mulai memanfaatkan TikTok untuk membuat konten islami, seperti ceramah singkat, kisah inspiratif, dan edukasi sejarah Islam. Namun, di sisi lain, tren joget dan konten hiburan yang kurang sesuai dengan syariat berpotensi menimbulkan pergeseran nilai budaya. Generasi muda bisa saja lebih terpengaruh oleh tren global daripada norma lokal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pelemahan identitas Islam yang menjadi ciri khas Aceh.

Selain itu, budaya konsumtif yang sering dipromosikan di TikTok juga menjadi tantangan lain. Banyak pengguna TikTok yang terpengaruh oleh tren pakaian, gaya hidup, hingga budaya luar yang tidak selaras dengan adat istiadat Aceh. Jika fenomena ini dibiarkan tanpa arahan yang jelas, bukan tidak mungkin generasi muda Aceh akan kehilangan akar budaya dan nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi.

Bagaimana Menyikapi Fenomena Ini?

Pemerintah Aceh dan masyarakat perlu mengambil langkah bijak dalam menyikapi fenomena ini. Masyarakat, khususnya generasi muda, perlu diberi pemahaman tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bijak, kreatif, dan tetap berpegang pada syariat Islam. Daripada sekadar melarang TikTok, lebih baik mendorong konten positif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Influencer dan kreator dari Aceh bisa didorong untuk menciptakan tren baru yang lebih bermanfaat.

Regulasi yang lebih adaptif juga perlu diterapkan. Pemerintah bisa menyesuaikan aturan terkait media sosial dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan terhadap syariat. Larangan total bisa kontraproduktif, tetapi pembatasan yang bijaksana bisa menjadi solusi. Selain itu, ulama dan pemuka agama perlu lebih aktif memberikan nasihat secara persuasif, bukan hanya menghakimi. Dakwah di media sosial bisa menjadi strategi ampuh dalam menangani fenomena ini.

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan memperbanyak kampanye digital yang mengajak anak muda untuk berkreasi secara Islami. Bisa melalui lomba konten kreatif Islami di TikTok, menciptakan tantangan (challenge) yang mengajak anak muda untuk membagikan konten positif, atau membuat akun-akun edukasi yang menarik perhatian remaja Aceh. Dengan begitu, media sosial tetap bisa dimanfaatkan tanpa harus bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Di sisi lain, peran keluarga juga sangat penting. Orang tua harus lebih peka terhadap aktivitas anak-anak mereka di dunia digital. Edukasi mengenai etika bermedia sosial dan dampak dari setiap konten yang dibuat harus diberikan sejak dini. Dengan bimbingan yang tepat, generasi muda Aceh bisa tetap eksis di dunia digital tanpa kehilangan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat yang berpegang teguh pada syariat Islam.

Dengan pendekatan yang bijaksana, Aceh bisa tetap menjaga identitas budayanya di tengah arus globalisasi digital tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi secara mutlak. Yang terpenting, semua pihak—pemerintah, ulama, akademisi, dan generasi muda—harus bekerja sama dalam mencari solusi yang seimbang antara syariat Islam dan perkembangan teknologi.

Komentar
Artikulli paraprakMesin Pengolah Beras Meledak di Abdya, Seorang Mekanik Meninggal Dunia
Artikulli tjetërBea Cukai Aceh Musnahkan 10 Juta Batang Rokok Ilegal