Analisaaceh.com, Banda Aceh | Terkait kasus pencabulan terhadap dua santri yang dilakukan oknum guru di satu satu Dayah di kawasan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara KPPAA, KAPHA dan LBH Banda Aceh gelar rapat terbatas, Senin (20/01/2020).
Rapat terbatas tersebut terkait penindakan terhadap tersangka MZF dengan Qanun Jinayah yang dinilai kurang akomodatif. Dari KPPAA turut hadir Muhammad AR, Ayu Ningsih, dan Firdaus Nyak Idien. Dari KAPHA Aceh hadir Taufik Riswan Aluebilie dan Ardi Martha Manggamat. Sementara perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh dihadiri oleh Desi Amelia dan Nora, serta Endang Setia Ningsih, psikolog ahli yang menangani kasus tersebut.
Sebelumnya Polres Lhokseumawe telah mengamankan MZF (26), oknum guru ngaji di Dayah JN. Dua santri laki-laki yang berumur 13 dan 14 tahun yang menjadi korban kejahatan, terjadi sejak November 2019 tahun lalu. Tersangka melakukan perbuatan melawan hukum dan norma agama di bilik Dayah tempat korban menimba ilmu.
Terkait dengan perkara ini, pihak Kepolisian akan menimpakan tersangka dengan pasal 47 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pilihan hukuman terhadap MZF, yakni, cambuk 90 kali, denda 900 gram emas, atau penjara paling lama 90 bulan, setara dengan 7,5 tahun.
Namun demikian, pilihan penindakan terhadap tersangka MZF dengan Qanun Jinayah, dinilai kurang akomodatif menjawab kebutuhan, pemulihan dan keadilan bagi perlindungan anak.
Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) Muhammad AR mengatakan sangat prihantin dengan meningkatnya tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak.
“Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 263/17/2017 berdasarkan amanah Peraturan Gubernur Aceh Nomor 85 Tahun 2015, memiliki salah satu fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak, termasuk di lingkungan Pesantren atau Dayah,” ujarnya.
Maka dari itu pihaknya, terutama HUDA sangat diharapkan bisa berperan aktif dalam pengawasan dan pembinaan para Teungku dan Guru menagaji di lingkungan Dayah atau Pesantren.
Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie memberikan pandangan, pertama, kejahatan seksual terhadap anak masuk dalam kategori extraordinary crime, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014), dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perpu 1/2016) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Kedua, dalam UU Perlindungan Anak, Pasal 76E UU 35/2014 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pelanggaran terhadap Pasal 76E UU 35/2014 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Perpu 1/2016, yakni:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
- Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
“Dari rumusan Pasal 82 Perpu 1/2016 jo. Pasal 76E UU 35/2014 di atas, tidak ada alasan terbaik untuk tidak menggunakan UU Perlindungan Anak, terkait dengan perkara pelanggaran hak anak, termasuk menindak pelaku kejahatan seksual terhadap anak,” jelas Taufik.
Sementara yang Ketiga, Qanun Jinayat yang mengatur tentang Jarimah (perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam), pelaku jarimah, dan uqubat (hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah), belum secara optimal mengambil alam berpikir philosofis, sosiologis dan yuridis formil hak anak dan perlindungan anak.
“Jika hanya Qanun ini yang dipakai, mengkesampingkan UU Perlindungan Anak maka akan terjadi pembiasan hak anak dan perlindungan anak,” ujarnya.
Senada dengan Taufik Riswan, Desi Amelia, SH Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh juga menyatakan penggunaan Qanun Jinayah dalam perkara kejahatan seksual terhadap anak dinilai salah besar dan keliru. Segala hal yang berkaitan jaminan dan perlindungan serta konsekuensi dari setiap pelanggaran yang berkaitan dengannya telah diatur secara tersendiri (lex specialis) di dalam UUPA. Sementara Qanun Jinayah adalah aturan yang mencakup sejumlah pelanggaran syariat beserta konsekuensi sanksi bagi pelanggarnya.
“Kami dari LBH Banda Aceh mendorong pihak Polres Lhokseumawe agar tidak menyampingkan UU Perlindungan Anak,” kata Desi.
Sementara itu, Wakil Komisioner KPPAA, Ayu Ningsing juga mengingatkan para pihak terutama APH yang akan menangani kasus tersebut, agar memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dialami santri di mana pelakunya adalah guru mengaji dalam artinya lain adalah pendidik yang semesetinya memberikan pembinaan dan perlindungan bagi anak.
Sudah seyogianya diproses dan ditindak secara berlapis, selain memberikan efek jera juga bagian edukasi kepublik. Kejahatan seksual terhadap anak masuk dalam kategori extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang hukumannya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” jelas Ayu.
Endang Setia Ningsih, Psikolog Ahli yang diminta oleh pihak kepolisian dalam penanganan kasus itu juga memberikan pandanganya bahwa, pihaknya turut apresiasi pihak kepolisian karena bisa menggukapkan kasus itu.
“Banyak laporan yang kami terima, biasa korban akan memilih diam, selain rasa takut, korban juga merasa belum ada kepastian mereka akan terlindungi apalagi bila dikaitan dengan pelaku seorang teungku atau guru ngaji dilingkungan pesantren atau dayah. Pada posisi ini, saya melihat korban mengalami kekerasan seksual, yang dapat menyebabkan trauma dan rasa malu mendalam pada korban. Sehingga kebanyakan menimpa usia kanak-kanak dan remaja ini dapat membawa dampak jangka panjang, bahkan seumur hidup, pada korban,” ucapnya.
Maka dari itu penting sekali ada upaya penanganan, pemulihan dan rehabilitasi bagi korban yang berkelanjutan, penanganan korban tidak hanya sebatas proses pendampingan hukum pada saat pemberian laporan dan kesaksian, tapi juga proses pemulihan lanjutan yang komprehensif.
Komisioner KPPAA, Firdaus Nyak Idien menjelaskan, dalam hal penanganan kasus anak, sudah semestinya ditangani dengan UU Perlindungan Anak, dan penyelenggaran perlindungan anak diminta segera mengambil langkah-langkah perlindungan khusus untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak, kasus kekerasan terhadap anak masuk dalam lingkup penanganan khusus sebagai mana diatur dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahuan 2014.
“Jika sistem koordinasi penanganan kasus anak masih macet dan lambat karena kepentingan pihak-pihak tertentu, maka KPPAA akan segera mengirim Surat Resmi Kepada Kapolri, Kemenag, Kemendagri bahkan ke Bapak Presiden Republik Indonesia, terutama terkait pembiaran pluralisme hukum yang masih menjadi mainan para pihak yang berkepentingan,” pungkasnya.
Rumusan RATAS Komisoner Komisi Pengawasa dan Perlindungan Anak Aceh, KAPHA Aceh dan LBH Banda Aceh tersebut akan disampaikan dalam waktu dekat kepada Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.