Analisaaceh.com, Banda Aceh | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menindak tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan, khususnya perambah hutan di kawasan Jambur Latong, Gampong Peseluk Pesimbe, Kecamatan Deleng Pokhkison, Kabupaten Aceh Tenggara (Agara).
Perambahan hutan di kawasan tersebut telah berdampak serius terhadap bencana hidrologi di Aceh Tenggara yang terjadi akhir-akhirnya. Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menunjukkan, hingga Oktober 2023 jumlah banjir sudah mencapai 19 kali. Bila dihitung hingga November 2023, lebih 22 kali banjir terjadi di Negeri Tanah Alas.
Sedangkan angka pada 2022 lalu sebanyak 30 kali kejadian – hanya selisih tipis dibandingkan 2023. “Jadi kami perkirakan, jumlah kejadian lebih banyak lagi kalau dimasukkan data kejadian November 2023,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye, WALHI Aceh Afifuddin Acal, Kamis (7/12/2023).
Kata Afif, pembukaan jalan Jambur Latong – Langkat, Sumatera Utara (Sumut) di Kabupaten Agara sepanjang 18,52 Km melintasi Hutan Lindung sepanjang 7,75 Km, telah mempermulus praktek illegal logging maupun kejahatan lingkungan lainnya.
Akibat praktik ilegal tersebut berdampak terjadi bencana hidrologi, terlebih Aceh Tenggara memiliki riwayat bencana banjir bandang yang cukup parah. Ditambah lagi kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas Singkil yang rusak parah saat ini, menduduki peringkat pertama di Aceh DAS yang harus diperbaiki.
Hasil monitoring WALHI Aceh sebelum pembukaan jalan Jambur Latong – Langkat, Sumatera Utara (Sumut), khususnya di kawasan hutan lindung Serbo Langit, vegetasi hutannya masih relatif baik dan merupakan habitat satwa kunci orangutan dan kambing hutan. Selain itu kawasan tersebut juga merupakan sumber air bagi masyarakat Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur.
“Kawasan hutan lindung Serbo Langit juga merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Bidang III Stabat Sumatera Utara. Kondisi tutupan hutannya pun kian terdegradasi saat ini,” ujarnya.
Sebelum pembangunan jalan tembus itu dikerjakan, kawasan hutan lindung Serbo Langit sudah marak terjadi perambahan dan illegal logging sejak 2018 – 2020
“Ini mengakibatkan terjadinya banjir bandang yang berdampak putusnya jembatan dan merusak lahan pertanian di Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, Lawe Sumukh,” paparnya.
Kemudian pada 2019 dan 2020 telah dibuka jalan dengan sepanjang 9 km, sedang sisanya terhenti karena harus menunggu izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) .
Faktanya, baru 9 km dibuka jalan di lokasi itu, akibatnya kawasan hutan lindung Serbo Langit menjadi terbuka yang kemudian semakin menyuburkan kegiatan perambahan hutan tanpa ada pengawasan oleh pihak terkait.
Berdasarkan temuan WALHI Aceh di lapangan, perambahan masih terus terjadi dan di pinggir jalan yang sudah dibangun tersebut hutan mulai terbuka, bahkan ada sejumlah hutan lindung telah dirambah.
Kayu-kayu diduga hasil perambahan tergeletak di pinggir jalan sebelum diangkut menggunakan becak motor ke tempat yang dapat diakses oleh roda empat. Parahnya lagi, cara lain perambahan hutan mengangkut kayu menunggu saat debit air sungai meningkat pada musim hujan. Kayu-kayu yang diduga hasil perambahan dihanyutkan hingga ke hulu.
“Jalan tembus ini aja belum selesai semua, perambahan terus terjadi, apa lagi kalau sudah jalan mulus, bisa lebih parah,” sebutnya.
Oleh sebab itu, WALHI Aceh meminta APH untuk menindak tegas pelaku perambahan hutan di kawasan tersebut. Karena bila hutan terus terdegradasi, bencana hidrologi bakal terus menghantui warga Agara maupun kabupaten di hilir.
“Perlu ada penegakan hukum yang tegas, tangkap pelaku perambah hutan, agar ada efek jera, supaya tidak ada yang melakukan kejahatan lingkungan lagi,” tegasnya.
Menurut pandangan WALHI Aceh, bila penegakan hukum tidak ditegakkan, kerusakan tutupan hutan akan terus terjadi. Maka bencana alam, baik banjir bandang maupun longsor tidak dapat dikendalikan.
Dampaknya bukan hanya warga yang mengalami kerugian besar, baik akibat kerusakan rumah dan hilang mata pencaharian. Habitat satwa juga akan terganggu, sehingga berpotensi bencana lain terjadi, yaitu konflik satwa dengan manusia.