WALHI Aceh Tunggu Realisasi 20 Ribu Hektar Lahan untuk Konservasi Gajah

Sebaran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, foto : WAlHI Aceh

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai langkah Presiden Prabowo yang akan mengalokasikan lahan seluas 20 ribu hektar untuk konservasi gajah di Aceh dapat memperkuat pelestarian empat satwa kunci yang semakin terancam akibat degradasi hutan di Aceh.

“Kami menunggu janji tersebut. Ini bisa menjadi momentum dan contoh bagi pemegang izin lain yang area konsesinya berada di koridor satwa,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Rabu (4/12/2024).

Namun, perlu diklarifikasi apakah lahan yang dimaksud Presiden Prabowo dalam pertemuannya dengan Raja Inggris, Raja Charles III, pada November lalu merupakan lahan pribadi atau lahan konsesi PT Tusam Hutani Lestari (PT THL) yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Sepengetahuan WALHI Aceh, Prabowo Subianto memiliki IUPHHK berdasarkan SK.556/KptsII/1997 dengan luas areal kerja 97.300 hektar, yang izinnya akan berakhir pada 14 Mei 2035.

Lahan itu tersebar di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, dan Aceh Utara. Sebagian besar lahan tersebut terbengkalai, bahkan ada yang telah digarap oleh warga setempat.

Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah dengan populasi gajah Sumatra terbesar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, meskipun tingkat konfliknya masih tinggi.

Konflik satwa dan manusia sering terjadi di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen, terutama di Kecamatan Karang Ampar, Kabupaten Aceh Tengah.

Di wilayah ini, gajah masih berkeliaran di perkebunan dan perkampungan warga, yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia dan dua individu gajah mati.

Intensitas konflik satwa dengan manusia yang menyebabkan korban jiwa dan kematian gajah disebabkan oleh hilangnya habitat alami, baik akibat perambahan hutan maupun perluasan lahan oleh korporasi, seperti perkebunan sawit.

“Menurut kami, itu lahan negara yang dipinjamkan kepada Prabowo melalui IUPHHK, jadi wajar bila hendak dilepaskan,” ujarnya.

Meskipun demikian, WALHI Aceh memberikan apresiasi tinggi bila rencana tersebut benar-benar diwujudkan demi konservasi satwa kunci di Aceh, khususnya gajah Sumatra yang populasinya semakin terancam.

Konflik gajah dan manusia tidak hanya terjadi di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen, tetapi hampir merata di seluruh Aceh akibat habitat alaminya yang terus terdegradasi.

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2019 hingga 2023 terjadi 583 konflik gajah dengan manusia.

Jumlah kejadian meningkat dari 106 kali pada 2019 menjadi 145 kali pada 2021. Meskipun sempat menurun menjadi 85 kasus hingga Oktober 2023, intensitasnya masih tergolong tinggi.

“Wilayah konservasi sangat dibutuhkan mengingat habitat gajah Sumatra terus menyusut akibat deforestasi dan alih fungsi lahan,” katanya.

Menurutnya, wacana pelepasan lahan untuk konservasi gajah harus diwujudkan, bukan sekadar rencana, demi menyelamatkan populasi gajah Sumatra yang semakin kritis.

“Ini angin segar untuk dunia konservasi jika benar-benar terealisasi. Kami berharap lahan tersebut benar-benar dialokasikan untuk kepentingan konservasi hutan dan empat satwa kunci,” ungkapnya.

WALHI Aceh menunggu langkah konkret dari Prabowo atau pihak terkait untuk merealisasikan pelepasan 20 ribu hektar untuk konservasi gajah di Aceh.

Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen bersama WALHI Aceh saat ini sedang menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) tentang Pengelolaan Kawasan Perlindungan Satwa Liar di Lanskap Peusangan.

“Kami siap bekerja sama dengan semua pihak untuk memastikan lahan konservasi ini bisa terwujud dan dikelola secara berkelanjutan,” tambahnya.

Komentar
Artikulli paraprakRekapitulasi Suara Kabupaten-Kota di Aceh Selesai, Pleno Provinsi Dijadwalkan 7–9 Desember