Analisaaceh.com, MEDAN | Meski menyandang predikat sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, konsumsi ikan di Indonesia masih terbilang rendah. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat konsumsi ikan di Indonesia pada 2018 sebesar 50,69 kilogram per kapita per tahun dinilai masih rendah jika dibandingkan dengan konsumsi ikan di Negara tetangga seperti Malaysia (70 kilogram per kapita per tahun), Singapura (80 kilogram per kapita per tahun), apalagi jika dibandingkan dengan Jepang (100 kilogram per kapita per tahun).
Padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah, yakni sebesar 9,9 juta ton pada 2018 dengan didukung potensi luas lahan budidaya ikan yang mencapai 83,6 juta hektar. Rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yakni
Pertama, preferensi konsumen yang cenderung untuk memilih konsumsi daging. Hal ini disebabkan adanya kebanggaan dalam diri masyarakat ketika mengkonsumsi daging ketimbang ikan, sebab konsumsi daging dianggap sebagai simbol kelas sosial tinggi (Tengker, 2017). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian ilmiah yang mengindikasikan bahwa ikan merupakan produk substitusi daging sapi, kambing/domba, dan babi (Djunaidah, 2017).
Kedua, daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah sehingga konsumsi akan lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat sebagai sumber energi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2018 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia sebesar Rp 1.152.261,00,- dengan persentase pengeluaran untuk makanan sebesar 50,65 persen.
Sehingga rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi makanan hanya sebesar Rp 583.621,00; sangat timpang jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan Malaysia (239,5615 USD, setara sekitar Rp 3.444.894,00) dan Jepang (874,8215 USD, setara sekitar Rp 12.579.933,00) yang merupakan negara dengan tingkat konsumsi ikan per kapita yang cukup tinggi.
Ketiga, buruknya sistem distribusi ikan nasional yang membuat ikan segar dengan kualitas baik hanya bisa dikonsumsi oleh sebagian kecil masyarakat sehingga menyebabkan selisih harga produsen dan harga konsumen yang cukup besar serta menimbulkan keengganan untuk mengkonsumsi ikan.
Harga produsen adalah harga transaksi antara petani (penghasil) dan pembeli (pedagang pengumpul/tengkulak) untuk setiap komoditas menurut satuan setempat, sedangkan harga konsumen/eceran adalah harga transaksi secara tunai yang terjadi antara pedagang/penjual dan pembeli dengan satuan eceran di pasar setempat untuk setiap jenis komoditas yang dibeli dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk dijual kepada pihak lain (BPS, 2018).
Berdasarkan data Statistik Harga Produsen Pertanian Subsektor Peternakan dan Perikanan serta data Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok Makanan yang dirilis BPS pada 2018, terdapat persentase selisih harga produsen dan konsumen yang cukup besar untuk komoditas perikanan, di antaranya ikan ekor kuning (26,68 persen), ikan cakalang (29,36 persen), ikan gabus (27,36 persen), dan ikan bandeng (36,23 persen).
Tingginya persentase selisih harga produsen dan konsumen tersebut menunjukkan sistem distribusi ikan saat ini masih terlalu panjang dan melibatkan banyak tangan yang menyebabkan harga konsumen untuk komoditas ikan masih tinggi, sehingga preferensi konsumen untuk mengkonsumsi ikan menurun.
Oleh karena itu, Perlu adanya upaya dari pemerintah yang didukung seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk membudayakan konsumsi ikan sehari-hari mengingat potensi ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk mendukung program prioritas pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Kemudian beberapa poin yang kini diupayakan pemerintah
Pertama, mendorong minat masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi ikan. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah melalui program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) yang bertujuan membangun kesadaran gizi individu dan kolektif untuk mengkonsumsi ikan.
Kedua, dengan memposisikan komoditas perikanan sebagai rencana pembangunan nasional yang bersifat dua arah. Peningkatan konsumsi komoditas perikanan tidak hanya meningkatkan kandungan gizi yang dikonsumsi masyarakat, namun juga meningkatkan produktivitas masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi pelaku industri perikanan untuk mendukung percepatan pembangunan industri perikanan nasional. Sehingga, semakin tinggi konsumsi ikan di masyarakat, semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan ekonomi dan industri perikanan nasional.
Ketiga, dengan mengembangkan sistem logistik ikan nasional yang terintegrasi dengan menjamin kualitas ikan tetap baik sejak ditangkap hingga sampai ke pedagang eceran. Hal ini telah diupayakan pemerintah dengan membangun sistem distribusi ikan dari wilayah penghasil/produsen ke wilayah konsumen.
Untuk itu, Pemerintah merencanakan membangun gudang penyimpanan berkapasitas 10.000 ton di enam provinsi diantaranya Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar, Manado, dan Ambon. Sistem ini diharapkan menjamin pasokan dan distribusi ikan dalam jumlah stabil dan berkualitas baik sepanjang tahun, sehingga persediaan ikan segar di wilayah konsumen ikan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi individu, melainkan juga untuk kebutuhan industri pengolahan ikan.
Penerapan upaya-upaya untuk membudayakan konsumsi ikan sehari-hari tersebut diharapkan mampu meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat tercipta multiplier effect; di satu sisi dapat memenuhi kebutuhan gizi nasional akan protein hewani, di sisi lain dapat menambah gairah industri perikanan nasional yang secara langsung berdampak pada penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi nasional secara simultan. (Lh)