Beberapa hari lalu, Indonesia sempat dibuat geram atas tindakan youtuber Ferdian Paleka yang dinilai sangat tidak terpuji. Walau kasus prank bingkisan berisi sampah tersebut sudah diselesaikan ke jalur hukum, namun sepertinya ada juga yang tidak mau belajar dari kesalahan orang lain.
Sedang hangat, empat remaja di Bone, Sulawesi selatan, diamankan karena melakukan prank kepada petugas medis rumah sakit umum dengan berpura-pura telah ter papar virus corona dan membuat petugas medis panik bukan main.
Entah apa yang merasuki remaja-remaja ini atau entah salah siapa mereka bisa seperti ini. Tujuan dan ada maksud apa masih dipertanyakan.
Mungkin saja, agar menjadi lebih tenar? Atau menjadi seseorang yang keren karena sudah menjalani masa trend nge-prank?
Sekali lagi, Entahlah. Entah karena memang Indonesia sedang krisis moral? Sehingga berbagai cara termasuk prank yang tak ada faedahnya dijadikan pekerjaan?
Prank adalah suatu kejahilan, kelakar, senda gurau, menipu. Ah, katakan saja dalam dua kasus di atas sebagai olok-olok. Prank menjadi sesuatu yang trend di Indonesia. Kalau tidak melakukan hal seperti itu, berarti tidak gaul.
Lah? Sebentar… apa sih fungsi prank?
Fungsi prank untuk menghibur para penonton, melihat bagaimana ekspresi korban prank, dan tindakan apa yang akan dilakukan si korban setelah tahu dirinya sedang ditipu.
Permainan olok-olok ini sebenarnya melatih kita agar cepat kesal atau banyak tertawa?
Menurutmu? Nah, pernah menonton aksi prank misal si pembuat prank menyamar jadi pengemis terus beli banyak makanan lalu dibagikan kepada pengemis lain? Atau pernah tidak menonton prank pura-pura ditusuk atau pura-pura mati sampai orang lain panik?
Jadi, pikirkan saja, apakah salah satu contoh prank di atas menjadi tolak ukur kepintaran manusia atau hanya ingin diakui bahwa dia adalah orang baik.
Sikap nyeleneh pada kasus-kasus prank yang merugikan orang lain dan paling parah dibawa ke ranah hukum, mungkin saja si pembuatnya sudah kehilangan ide, atau paling tidak sudah bisa masuk ke ranah psikologi mengapa beberapa orang alih-alih melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain di tengah wabah dan musibah yang sedang menimpa Indonesia, malah senang mengolok-olok. Membuat hati panas saja.
Alhasil, tidak semua prank menjadi contoh baik. Bisa saja, permainan olok-olok ini menimbulkan prasangka buruk, sakit hati dan lebih parah kemungkinan orang yang menjadi korban prank melakukan sesuatu di luar nalar karena amarah.
Out of the box, kalau melihat bagaimana seorang Youtuber atau orang-orang televisi membuat sebuah misi agar banyak yang menonton. Benar, kalau memang tidak keterlaluan. Balik lagi ke manusianya dan konten yang ingin di buat. Jangan asal karena ingin mengejar jam tayang dan penonton, empati pun di nol besarkan.
Apakah benar Indonesia darurat empati?
Selidik punya selidik, kasus seperti ini bukan menjadi kasus pertama yang sedang panas. Pada tahun 2018 seorang youtuber melakukan prank pocong dan membuat seorang pejalan kaki terkejut lalu memarahi youtuber tersebut dan mengadukannya ke RT setempat.
Ada lagi, tahun 2011 seorang satpam pernah dikejutkan oleh aksi prank suster ngesot dan membuat satpam tersebut refleks lalu menendang orang yang dikira hantu tersebut. Malu sekaligus sakit pastinya.
Pada tahun 2016 peristiwa tragis terjadi di Serpong, korban yang saat itu sedang merayakan ulang tahun diikat di tiang lampu dan disiram air oleh teman-temannya. Seketika korban mengalami kejang-kejang karena tersetrum listrik lalu meninggal dunia.
Ya, Indonesia memang krisis empati. Hilangnya rasa kasih sayang dan berbuat semena-mena sepertinya sudah menjadi tanda kurung besar bagi orang-orang yang membuat prank tidak bermanfaat seperti ini.
Sekarang, apakah prank masih menjadi hal lucu untuk dinikmati? Nah, untuk pertanyaan yang satu ini, mari kita jawab pada diri masing-masing