Aisyah

*(OLEH Rohadi Kembali

“Kalau bukan karena bintang, tak akan indah cahaya bulan. Oh Aisyah! Malam ini aku ingin sekali berada di sampingmu.” Puisi seorang pemuda yang dilanda kekecewaan. Angin begitu kencang malam itu, Andri menantangnya dengan raut wajah berang.

Seolah ia ingin menamparnya, tapi bagaimana? Keberadaannya sangat dibutuhkan, sama seperti kekasihnya Aisyah. Andri melaju melintasi malam dengan badan yang mulai lesu. Ia terus menelfon kekasihnya yang tak kunjung dijawab. Hatinya semakin resah memikirkan gadis itu.

“Nak, kenapa kau lesu sekali? Bukankah ini sudah larut malam, kenapa kau masih disini!” Tutur seorang kakek tua.
Andri tersenyum seraya bertanya pada Kakek, “Apakah Kakek pernah punya kekasih?” “Ada ada saja kau ini.”
Jawabnya “Apakah memang ada cinta itu yang terlarang Kek?” Seru Andri.
“Kau punya masalah Nak?” Tanya sang Kakek.
Andri tertunduk, diam tanpa kata.
Kakek tua itu mendekatinya seraya menyentuh pundak Andri dan berkata, “Tak ada hujan yang tak reda Nak! Sebesar apa pun masalahmu akan ada solusinya.”
“Aku kalut Kek. Aisyah kekasihku itu tak lagi dapat kuhubungi. Ia menghilang semenjak keluarganya tidak merestui jalinan tali kasih kami.
Keluarganya hanya merestui bila ia dengan lelaki yang memiliki gelar bangsawan Kek. Sementara aku, aku tiada memiliki hal itu Kek!” Papar Andri lantang.
Kakek tua itu tersenyum menatap Andri.
“Sudahkah engkau bertemu langsung dengan orangtuanya Nak? Lelaki itu Nak harus berani menghadapi segalanya. Datangi rumahnya, jumpai orangtuanya, yakinlah ada jalan dimana engkau mau berusaha Nak!”

Malam bersambut pagi, Andri masih duduk termangu di pinggir pantai. Kakek tua itu sudah pergi menangkap ikan. Aisyah kaget melihat paras Andri yang sedang berdiri di halaman rumahnya. Ia ingin menutup pintu rumahnya, namun rasa cintanya pada Andri membuat dirinya tak kuasa.

Pikirannya mulai panik. Aisyah takut ibunya akan memarahi kekasihnya itu.
“Tujuan apa kamu kemari Abang? Bukankah sudah kukatakan aku tak mau lagi berjumpa denganmu?” Tutur Aisyah dengan air mata berkaca kaca.
“Abang ingin menjumpai ibumu, bukan dirimu Dek.” Jawab Andri Tiba tiba suara serak serak parau mempersilahkan Andri untuk masuk.
Aisyah tersentak, pamannya berada di belakang. Aisyah diperintahkan pamannya untuk masuk ke dalam. Ia masuk ke dalam namun hatinya begitu resah dan gundah memikirkan apa yang akan terjadi.

“Kenapa kamu kemari anak muda?” Tanya Pak Ali paman kekasihnya itu pada Andri.
Andri tertegun gugup untuk menjawabnya. “Aku ingin menjadikan Aisyah sebagai pendamping hidupku, Pak.
Aku dan dia saling mencintai. Izinkan aku meminangnya untuk jadi istriku Pak!” Jelas Andri.
“Orang tua mu masih ada Nak, kenapa kau datang sendirian, tidakkah engkau punya keluarga?” Sodor Pak Ali.
Andri tertunduk, ia tak berani lagi menatap Pak Ali.
“Ah, Sudahlah. Aisyah pun sudah dijodohkan oleh mendiang ayahnya sejak ia masih kecil. Disini tradisi kami, anak perempuan memang harus langsung dijodohkan dengan kaum kami Nak, agar kebangsawanannya terus melekat pada anak cucu kelak.” Papar Pak Ali.
Andri tersentak. Ia menatap Pak Ali.
“Apakah kamu memiliki gelar tersebut?” Tanya Pak Ali.
“Tidak. Aku hanya seorang masyarakat biasa Pak.” Cocor Andri.
“Pulanglah Nak. Jika engkau sayang pada Aisyah, ikhlaskan dia bersama jodohnya, itu akan membuat Aisyah baik di mata keluarga dan kaumnya.
Jika Aisyah memaksa denganmu, ia akan dikeluarkan dari silsilah kami Nak. Bahkan ia harus keluar dari rumah ini. Jangan kalian memaksakan kehendak lagi Nak.” Seru Pak Ali.

Andri pun berangkat meninggalkan rumah kekasihnya itu bersama luka yang mendalam. Restu yang ia harapkan malah jadi petaka. Ia harus merelakan Aisyah untuk orang lain.

“Pinang ado siriah pun ado, buliah dimakan sakapur layi. Sayang ado kasiah pun ado. Di dunia lain, kito basamo lai.

Abang! Maaf Aisyah tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya Aisyah juga hancur Bang. Inilah kami Bang. Inilah kaum kami Bang.

Kaum yang masih terikat dengan aturan pendahulu. Sekali lagi Bang! Maafkanlah Aisyah keluarga Bang. Semoga Abang mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Aisyah.”

Sebuah pesan sms dari Aisyah.

Berkeping keping rasanya hancur hati Andri membaca pesan itu. Ia tak kuasa membalasnya. Kekejaman keluarga Aisyah yang dirasakan membuat ia benci akan perempuan.

Hari berganti hari, minggu ke minggu berlalu, Andri melewatinya dengan mengurung diri. Tepat di hari lahir Aisyah, Andri merencanakan untuk menemuinya dan memberi sebuah hadiah. Meskipun tidak bisa memiliki, setidaknya dengan membuat gadis yang dicintainya itu bahagia, ia juga bahagia. Api padam disiram air.

Undangan pernikahan Aisyah tiba. Andri menangis, berteriak tak menerima keadaan. Aisyah akan menikah bukan bersamanya tapi bersama lelaki lain. Andri berdiri di pinggir jurang. Ia memandang nun di kedalaman. Pelan pelan ia melangkah. Andri melompat ke jurang seraya meneriakkan nama Aisyah.

Aisyah…….” Teriak Andri. Ia terduduk dari tidurnya. Semua mata menuju ke arahnya. Tatapan demi tatapan penasaran seolah bertanya padanya. Nada pesan Handphonenya berdering “Bang. Nanti kita jalan jalan ya. Lebaran ini Aisyah gak lama di kampung. Aisyah tunggu ya Bang.”

Peluh Andri masih mengucur membayangkan kejadian bahwa Aisyah dengan yang lain. Ternyata ia hanya mimpi. Semua temannya pun memecahkan tawa melihat sikap Andri demikian.

Penulis adalah seorang Abdi Masyarakat)*

Komentar
Artikulli paraprakTim Ombudsman Pusat Kunjungi Damkar Banda Aceh
Artikulli tjetër5 Unit Rumah di Pajak Tradisional Pekong Terbakar