Hakikat dan Tantangan Santri di Era Digital

Oleh: Teuku Khumaidi, S.H

Tanggal 22 Oktober sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sejak tahun 2015 lalu. Semenjak itu, setiap tanggal 22 Oktober selalu dijadikan sebagai hari peringatan oleh masyarakat terutama kalangan pimpinan Pondok Pesantren atau Dayah, para santri dan masyarakat pada umumnya.. Peringatan ini biasanya dilakukan dengan upacara, membaca zikir, shalawat, kajian kitab kuning, pelombaan dan lain sebagainya.

Tidak hanya dirayakan oleh kalangan Pesantren atau Dayah, Hari Santri Nasional juga dimeriahkan oleh kalangan pemerintah seperti mengadakan sayembara karya tulis ilmiah, fotografi, video pendek hingga lomba baca kitab kuning. Bahkan kegiatan serupa juga dilakukan oleh LSM dan ormas yang begerak di bidang keagamaan.

Terlepas dari berbagai macam bentuk peringatan yang dilakukan oleh semua pihak, namun perlu kita ketahui bersama apa saja hakikat seorang santri tersebut dan peran apa yang bisa diberikan oleh santri kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di era digital ini.

Karena lumrahnya santri itu akan menjadi ustaz/teungku bagi santri setelahnya, kemudian santri tersebut juga sebagai calon-calon ulama di masa yang akan datang yang akan dijadikan panutan oleh masyarakat.

Santri sekarang tentunya berbeda kehidupan dan tantangan dengan santri masa lalu, jika santri masa dulu fokus menuntut ilmu, bedakwah dan menagajarkan umat dengan cara yang manual, tentunya santri zaman sekarang bisa melakukan kegiatan tersebut dengan cara manual dan dengan cara bermedia sosial.

Menuntut ilmu agama dan mendakwahkannya kepada umat untuk berbuat kebajikan adalah hal yang sudah melekat pada diri seorang santri dari sejak zaman dahulu. Langkah tersebut adalah kontribusi besar yang bisa dilakukan oleh seorang santri untuk negara, yang mana kegiatan seperti itu belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang. Sebagai insan yang terpelihara dengan didikan ilmu agama sudah sepantasnya santri membawa kedamaian dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara melalui dakwahnya.

Dalam kehidupan sekarang yang dikelilingi oleh berbagai macam media sosial, sepatutnya santri harus menggunakan media tersebut sebagai lapangan baru untuk berdakwah. Menuangkan semua ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari kedalam berbagai macam platfrom tersebut sehingga bisa diakses dan dijadikan ilmu pengetahuan baru oleh masyarakat. Bukan menggunakan media itu untuk menghujat dan mencaci maki pihak yang berbeda pendapat dengan dia, apalagi mengadu domba masyarakat dengan issue agama.

Memiliki akhlak yang mulia, tutur bahasa yang lembut dan tingkah laku yang sopan adalah identitas seorang santri yang melekat dalam mindset masyarakat dari dulu hingga sekarang. Hal ini disebabkan santri adalah generasi yang lebih fokus mempelajari ilmu akhlak dan ketasawufan dibandingkan generasi lain. Maka bagi seorang santri sudah sepantasnya bersifat mulia saat bergaul dalam kehidupan masyarakat, berbahasa lembut dalam berkomunikasi, berjiwa sosial yang tinggi. Bukan berdakwah dengan bahasa yang kasar dan kotor seperti “teumeunak, ceumarot”, menyudutkan secara berlebihan kepada pihak-pihak tertentu di tempat umum agar masyarakat membencinya.

Sebagai insan yang memfokuskan dirinya dalam literasi dan keilmuan agama, santri harus mengkaji dan memahami secara mendalam tentang ilmu-ilmu agar dapat diamalkan dan disampaikan kepada masyarakat. Santri juga harus menyampaikan dalam dakwahnya tentang amalan yang wajib, sunnah hingga amalam yang terjadi khilafiyah (perbedaan). Hal tersebut untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak gampang menyalahkan bahkan menyesatkan jika ada masyarakat yang lain terdapat perbedaan dalam mempraktikkan ibadahnya.

Santri harus jadi golongan yang mendamaikan dan memberi jalan keluar jika terdapat perbedaan dalam hal ubudiyah, bukan justru memprovokasi masyarakat agar bertambah benci kepada mereka yang berbeda pendapat hingga terjadinya kekacauan dan kekerasan.

Santri adalah generasi yang dipersiapkan sebagai kader yang mempunyai tingkatan keilmuan yang lebih tinggi dibandingkan yang lain, santri juga dibekali dengan pendidikan kecerdasan dalam mengelola emosional yang baik oleh ustaz/teungkunya di pesantren. Kecerdasan dalam mengelola emosional ini dapat dilihat dari pelajaran tentang bersifat sabar, tawadhuk, bijaksana yang selalu diajarkan kepadanya.

Oleh sebab itu santri harus mempunyai jiwa besar dalam menanggapi setiap issue yang beredar, tidak mudah terpancing apalagi sampai terprovokasi oleh pihak tertentu. Tetapi seorang santri yang cerdas harus mengkaji secara teliti setiap issue tersebut sebelum dia memilih terlibat di dalamnya. Santri juga tidak boleh memiliki sifat fanatik buta terhadap pendapat orang yang dekat dengannya saat menghadapi suatu masalah. sehingga membuat dirinya enggan mencari kebenaran tentang kebenaran yang sesungguhnya dari masalah tersebut.

Membaca dan mengkaji adalah tuntutan utama yang diajarakan di dalam agama Islam, sebagai dalilnya yaitu ketika pertama kali Muhammad diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul, malaikat Jibril menyuruhnya untuk “iqra’” (bacalah.!), sehingga jika terjadi suatu kejadian di setiap kondisi, kita sangat dianjurkan untuk mengkaji sebaik mungkin dari kejadian itu sebelum akhirnya mengambil keputusan.

Sebagai generasi yang mengguluti keilmuaan agama Islam, santri harus mengkaji secara spesisfikasi di setiap cabang-cabang keilmuan yang diajarkan di pesantren/dayahnya. Pengetahuan yang sudah ia dapatkan tersebut nantinya harus dikembangkan dengan cara dia mengajar kembali kepada santri lain atau masyarakat umum dan menuangkannya dalam karya ilmiah seperti buku, jurnal, artikel dan lainnya. Sehingga setiap pemikiran santri tersebut akan tetap abadi dan dapat dijadikan rujukan oleh orang lain, baik si santri masih hidup atau sudah meninggal nanti.

Karena tingkatan keilmuan seseorang akan jauh lebih diakui oleh publik jika dia menuangkanya dalam tulisan-tulisan. Hal serupa juga sudah di praktikkan oleh ulama-ulama terdahulu baik di Aceh maupun negara lain sehingga membuat mereka dikenal hingga sekarang karena karyanya yang terus dibaca dan dikaji.

Santri harus menjadi kader yang siap digunakan oleh negara di masa yang akan datang dalam melakukan pembangunan negara khususnya pembangunan pendidikan agama. santri harus menjadi regenerasi ulama terdahulu dan ulama sekarang dalam melanjutkan pendidikan agama kepada masyarakat.

Adapun untuk menjadi kader tersebut tentunya butuh persiapan yang sangat matang dan belajar membentuk kepribadian diri yang kuat. Sepantasnya santri harus menjahui dirinya dari segala bentuk kegiatan yang dapat menghambat proses belajarnya seperti main game online, sering nongkrong di warkop yang tanpa produktif dan bermalas-malasan dalam belajar.

Selain dituntut mempunyai pemikiran yang cerdas dalam ilmu agama, santri semestinya juga harus mempunyai jiwa yang berani dalam melawan kemungkaran di saat dia terjun dalam kehidupan masyarakat nantinya. Santri harus menjadi penggerak utama dalam melawan berbagai macam bentuk kebatilan, baikkah dia berkecimpung dalam pemerintahan, politik maupun lembaga swadya masyarakat nantinya.

Renungan

Sebagai renungan bersama, pada saat ini sangat banyak generasi Aceh menjadi santri di Pesantren atau Dayah yang tersebar di seluruh Aceh. Sehingga secara kuantitas, santri di Aceh terbilang lumanyan besar dan menjadi peluang baik untuk pertumbuhan pendidikan agama Islam di Aceh di masa yang akan datang.

Maka dari itu, tentunya kriteria-kriteria santri seperti yang sudah disebutkan di atas diharapkan ada pada diri seorang santri sekarang.

Penulis merupakan Ketua Ikatan Santri Keumala Nicah (ISKANI) Pidie, Seketaris Alumni Dayah Nura Tijue dan Santri Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah Banda Aceh.

Editor : Nafrizal
Rubrik : KOLOM
Komentar
Artikulli paraprakLaunching Gebrak Masker di Geuceu Komplek, Aminullah Ajak Warga Wujudkan Banda Aceh Zona Hijau
Artikulli tjetërUpaya Pemko Banda Aceh Atasi Kesenjangan Gender di Dunia Politik