Analisaaceh.com, Banda Aceh | Pernyataan Menteri Agama (Menag) Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi yang melarang pemakaian celana cingkrang dan cadar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai kritikan di berbagai kalangan di Indonesia, termasuk salah satunya KAMMI Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.
KAMMI UIN Ar-Raniry menyayangkan pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi tersebut yang telah memicu dan mengeluarkan kata-kata kontroversi.
Ketua KAMMI UIN Ar-Raniry, Rahmadi Sagala mengatakan, sejak dilantik sebagai Menteri Agama, Fachrul Razi beberapa kali telah mengeluarkan pernyataan kontroversi yang berpotensi menimbulkan kegaduhan, seperti menyinggung masalah penggunaan niqab atau cadar dan celana cingkrang yang dianggap identik dengan paham radikal.
“Padahal penganut paham radikal tidak bisa hanya dilihat atau dinilai dari cara berpakaian saja,” ujar Rahmadi dalam rilisnya kepada analisaaceh.com (04/11/2019).
Menurut Rahmadi, Menteri agama kali ini benar-banar masuk pada wilayah privasi dan keyakinan dalam menjalankan ajaran agama, dan ini sangat melukai hati umat, seakan-akan cara berpakaian semacam itu identik dengan radikalisme.
“Ini tidak adil terhadap umat Islam. Terus terang, banyak saudara-saudara kita yang menggunakan pakaian semacam itu berbuat banyak, baik untuk mencerdaskan bangsa ini dan membangun negeri ini,” tegasnya.
Dalam ajaran Islam, lanjut Rahmasi, terdapat kewajiban menutup aurat bagi laki-laki ataupun perempuan. Di kalangan ulama memang terdapat perbedaan mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat.
“Islam adalah agama yang penuh rahmat, bila ada yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itu individu. Jangan disinggung pakaiannya, cadarnya. Tentu yang manyoritas menggunakan pakaian tersebut akan terusik dan bisa termarjinalkan,” jelasnya.
Menurut Rahmadi, hendaknya pemerintah jangan terus menerus berbicara tentang radikalisme, mari cari narasi yang sejuk, enak didengar, dinikmati oleh semuanya, tidak ada yang merasa didiskriminasikan, tapi ciptakan budaya santun dalam segala hal.
“KAMMI UIN mendukung kebijakan Menag yang berpihak kepada masyarakat. Namun, jika ada kebijakan yang berpotensi merusak tatanan demokrasi masyarakat, KAMMI UIN akan mengkritik dan memberi masukan,” terangnya.
Salah satunya perihal batasan makna radikalisme, Rahmadi menilai Menag perlu mendengarkan masukan berbagai pihak soal definisi radikalisme, agar radikalisme tidak hanya dirumuskan dengan simbol tertentu. Sebab, lanjut dia, simbol yang digunakan justru berpotensi menimbulkan narasi kontraproduktif di kalangan masyarakat luas.
Untuk merumuskan kembali makna radikalisme, Rahmadi menyarankan Menag duduk bersama dengan berbagai perwakilan elemen masyarakat baik pemuka agama, tokoh masyarakat, perwakilan pemerintah, akademisi dan sebagainya.
“Semua pihak tentu harus dilibatkan, baik dari kalangan agamawan ataupun juga kalangan akademisi, dan juga kalangan-kalangan lain yang menjadi stakeholder dari masyarakat itu sendiri,” tutur Rahmadi.