Memeluk Leuser

“Andri, aku berangkat dulu. Ada panggilan dari kantor, hari ini ada tamu expedisi yang harus didampingi.”

“Lemoet, kau harus ingat. Sebelum memulai expedisi kau harus mengingatkan mereka tentang kehidupan Leuser, dan berdo’a.
Semua makhluk di sana sahabat leluhur kita, semoga mereka selalu menjagamu”, pesan Andri yang mulai beranjak dari tempat duduk.

Aku berangkat melaju menemui para tamu yang berjumlah 10 orang, 3 di antaranya perempuan berparas cantik, mirip artis Ibukota. Mereka berasal dari sebuah Perguruan Tinggi ternama.

Sebelum berangkat, terngiang di telingaku tentang ucapan Andri sahabatku, untuk mengingatkan mereka tentang cerita Leuser. Aku berusaha tenang dan santai menyampaikan pesan sahabatku, walau hati risau. Aku takut mereka membatalkan kunjungannya, dan melaporkan pada atasanku.

Mereka terlihat menertawaiku. Bahkan salah satu gadis cantik idolaku di tim expedisi ini Evi mengejekku, kami sudah menaklukkan Puncak Jaya, Borneo, dan baru pulang dari expedisi Everest bang Lemoet.

Aku tersenyum manis menatap wajahnya, “iya dek, abang hanya mengingatkan”. Ok kita berangkat.

Expedisi hari pertama, kedua, ketiga, empat semua berjalan lancar. Masih semangat mengabadikan pesona Alam Leuser.

Pagi ini memasuki pendakian hari kelima, aku dan tim expedisi melanjutkan perjalanan, tiga gadis cantik di Tim ini Lia, Evi, Cika menghampiriku.

“Bang lemoet, kalau bisa kita cari lokasi yang lebih menantang. Ke zona terlarang kalau bisa katanya, jangan ngikutin rute ini”.
Aku terdiam kaku, karena gerogi dikelilingi cewek-cewek cantik yang memanjakan diri di sampingku. Aku terbata-bata menjawab binggung, “jadi kekmana dek perjanjian kita ikutin rute yang diizinin”.

Mereka tetap memaksaku. “Baiklah, tapi kalian harus janji, tidak akan mengambil apapun di sana, dan ingat di sana kompas, GPS, senter, dan api bisa tak berfungsi”.
Tujuh lelaki muda menghampiriku Aldo, David, Juky, Ridho, Robi, Ewin, Riko, ikut meyakinkan mereka akan mematuhi aturan yang aku buat.

Perjalanan expedisi kami lanjutkan, hari kelima dan keenam berjalan dengan baik, dan kami semangkin akrab saling menghibur menghilangkan lelah dengan canda tawa.

Pagi ini, hari ketujuh kami hampir sampai ke zona target expedisi. Aku menyebut tepat ini “Lembah Abadi”. Karena aku pernah tersesat di sini.

Matahari sudah berada tepat di atas kami beristirahat, Ewin mendengar suara burung Murai berkicau, dia memanggil keenam temannya untuk mencari sumber suara.
“Kalian mau ke mana?”, tanyaku.
“Kami mau lihat burung bang”, jawab Juky.
“Untuk apa?”, tanyaku lagi.
“Kami mau Foto aja bang”, jawab Aldo.

Akupun merebahkan badan di atas sebuah batu datar hingga tertidur.
Bang Lemoet…bang Lemoet…!!
Evi membangunkanku dari tidur, rupanya aku tertidur dikeliling tiga gadis cantik yang sedang resah.

Bang Lemoet, kenapa.
Juky, Ridho, Aldo, Ewin, Robi, David dan Riko belum kembali.
Apa mereka tersesat…?
Aku terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus aku lakukan.

Hari sudah mulai gelap, kabutpun mulai mengalir di antara lembah-lembah ini.
“Baiknya kita pindah ke atas, ke bibir gunung yang berbentuk goa untuk istirahat. Kalian tidur dan berdo’a mereka baik-baik saja”.

Hatiku mulai risau mereka hilang, hari pernikahanku pun pasti terlewatkan. Ibu dan Daswita calon istriku pasti kecewa dengan semua ini, aku tak bisa tidur.

Aku meninggalkan mereka bertiga yang tertidur nyenyak, aku berjalan menaiki sebuah batu di atas puncak.

Aku berdiri di atas memandang gelap berkabut di sekililingku, tergiang di telinga ucapan sahabatku
“Wak Lemoet…Wak Lemoet…!!, kau tersesat, mustahil..!”
Nenek monyang kita sudah mencintai Leuser dan Leuser mencintai mereka. Tak mungkin Leuser membodohimu, kalau kau dan timmu tak berbuat kesalahan.”

Suaranya terdengar jelas menertawaiku di seluruh penjuru.
“Kau tersesat…kau tersesat…kau tersesat…”
“Leuser membodohimu Lemoet, Leuser membencimu Lemoet, Leuser tak lagi mencintaimu Lemoet.”

Aku kesal, Aku berteriak sekuat tenaga.
“Andri…..!! diam”.

“Leuser…..!!, aku mencintaimu….!!”
“Leuser…!!, aku ingin memelukmu…!!”
“Leuser…!!, aku akan menjagamu, jika kau kembalikan mereka.

Aku berlutut lemas, Aku meratapi hidupku.
Dari kejauhan ketiga wanita cantik itupun ikut menangis, aku menghampiri mereka.
Mereka menangis memelukku penuh rasa penyesalan, hingga aku tertidur.

Matahari mulai menyinari, kabutpun berlari di lembah-lembah gunung dan di antara batu serta pepohonan. Aku terbangun dari tidur, aku meninggalkan mereka bertiga yang tertidur.

Aku kembali ke atas batu dan berteriak-teriak sekuat tenaga.
“Leuser….ini aku Lemoet sahabat mu…”
“Leuser… kembalikan mereka padaku.”
“Leuser… aku berjanji akan menjagamu sama seperti leluhurku.”

Dari kejauhan terdengar suara bergema memanggil namaku.

“Bang Lemoet kami di sini, bang Lemoet kami di sini”.
Aku menoleh ke kanan, aku tersenyum melihat mereka berenam berdiri di atas batu di lembah dengan selamat.

Aku berteriak-teriak.
“Terimakasih Leuser….!!”
“Terimakasih Leuser….!!”

Kami telah bertemu kembali, mereka bercerita tentang Leuser membantu mengarahkan mereka agar kembali, hingga mereka mendengar suara panggilanku di malam hari. Mereka merangkak di dalam kabut, berusaha keras tetap bersama.

Akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang. Sebelum meninggalkan lokasi, kami berteriak bersama.

“Terima kasih Leuser, kami akan menjagamu.”

Editor : Nafrizal

Komentar
1
2
Artikulli paraprakPuluhan Mesin Judi Jackpot Diamankan Aparat
Artikulli tjetërSenja Bersamamu