Memeluk Leuser

Hari ini masih sama saja seperti hari-hari sebelumnya tak ada yang berbeda, masih penuh dengan semangat. Hari inipun aku masih harus bekerja, padahal hari ini hari minggu, dan minggu depan sudah mulai memasuki hari pernikahanku, hasil musyawarah wali ninik mamak kedua belah pihak 3 bulan yang lalu.

“Umak” sapaku hangat pada sosok yang telah banyak mengajarkan hidup. Dia adalah ibuku tercinta.

“Saya berangkat kerja dulu, Mak” lanjutku menyalami tangan beliau.

“Hati-hati nak”, pesannya.

Dan aku mulai melangkahkan kakiku ke sebuah warung kecil di ujung jalan. Sebuah Warung Kopi “Pondok Buruk” lebih tepatnya.

Seperti biasa, aku memesan segelas kopi spesial dan sebungkus kretek sebelum berangkat. Tak lama berselang sahabatku Andri, sampai menghampiri.

Andri adalah sahabatku yang berprofesi sebagai guru, dulu kami adalah petualang, atau lebih kerennya Mapala.

“Andri mulai bertanya tentang Leuser”,
Lemoet sudah kemana saja, kawasan Leuser yang sudah kau jelajah…?
Aku, tersenyum menatap wajah sahabatku.
Kami berdua pernah bercita-cita ingin menjadi seorang pelestari lingkungan hidup.

“Aku, sudah mendaki beberapa gunung.
Dengan berbagai kisah dalam perjalanannya, bahkan aku dan beberapa rekan-rekan satu Tim pernah tersesat selama beberapa hari di dalam hutan lebat yang berkabut”.

Andri menertawaiku, dengan rawuet wajah tak percaya aku tersesat.

“Wak lemoet…Wak lemoet…!!
Kau tersesat?, mustahil. Nenek monyang kita sebelum Indonesia ini merdeka, mereka sudah mencintai Leuser dan Leuser mencintai mereka. Deklarasi Tapaktuan 6 Februari 1934 adalah bukti nenek monyang kita pecinta alam. Tak mungkin Leuser membodohimu, kalau kau dan timmu tak berbuat kesalahan”.

Aku terdiam. “Memang benar dri, rekan-rekan satu Timku ada yang teledor”.

Tak lama berselang, suara panggilan HP berdering. Menandakan aku harus segera berangkat meninggalkan Andri untuk menuju ke kantor.

Komentar
1
2
Artikulli paraprakPuluhan Mesin Judi Jackpot Diamankan Aparat
Artikulli tjetërSenja Bersamamu