Mencintai Negeri ini

*(Oleh: Rohadi Kembali

Aku lemas tak berdaya menikmati pagi yang begitu cerah. Sakit yang kuderita begitu berat semenjak dua minggu terakhir. Hari hari kulewati dengan membaca buku. Sesekali terkadang kucoba untuk menuliskan penderitaan yang kualami ke dalam buku diariku. Pagi ini aku hanya terdiam di kamar tidurku.

Kupandangi ke jalan dari jendala, kendaraan terus melaju mengarah ke kota kecamatan. Rasanya batinku ini menangis. Aku ingin pergi ke sana, ditempat mereka pergi, namun ragaku lemah. Aku tak cukup kuat untuk itu.

“Agam! kenapa kamu kamu bermenung, sudahkah kau meminum obat?” Tanya ibuku.

Namaku Teguh Agam. Mereka kerap menyapaku Agam. Aku seorang mahasiswa yang sedang cuti belajar.

Aku bercita cita ingin menjadi seorang tentara. Berulang kali aku mengikuti seleksi, berulang kali pula aku gagal. Niatku yang begitu besar harus kupendam karena usiaku telah lanjut. Dan aku memutuskan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

“Belum Bu. Aku tak ingin melakukan apa apa hari ini.” Jawabku pada Ibu.

“Agam. Ada apa Nak?” Kembali ibuku bertanya.

Aku tidak menjawab lagi. Ibuku pergi meninggalkanku dengan raut wajah kebingungan. Mungkin saja ia sedih melihatku, atau ia marah padaku.

“Gam, kenapa denganmu?” Tanya Ubit seorang temanku.

Aku kaget melihat Ubit berdiri tegak di pintu kamarku dengan pakaian yang sangat rapi. Mungkin saja ibuku yang memanggilnya kemari.

Ubit merupakan teman kecilku. Ia seorang pemuda yang tidak disiplin, jahil bahkan bodoh, hingga ia selalu mendapatkan rangking terakhir waktu sekolah dulu. Namun keakraban kami sudah seperti keluarga.

“Bit, masihkah kau ingat kata kataku padamu setahun yang lalu? Aku adalalah patriot. Mencintai Negeri ini tanpa henti dan membelanya sampai mati sebagaimana pejuang pejuang terdahulu. Begitukan kata kataku Bit?” Tanyaku padanya.

Ubit tersenyum manis menatapku. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Ia memegang bahuku.

Hari ini adalah hari kemerdakaan. Biasanya aku selalu mengikuti apel Bendera. Aku ingin selalu mengucapkan syukur pada para pejuang yang telah memberikan kemerdakaan. Aku ingin mencintai Negeri ini sampai mati.

“Kau adalah seorang Patriot. Kau telah mencintai negeri ini dengan sepenuh hati dan jiwamu Gam.”

“Bagaimana kau mengatakan aku mencintai Negeri ini, Bit! Bila hari ini, pagi ini aku masih disini, di kamar ini, diatas kursi roda ini. Harusnya aku disana di hari kemerdekaan ini. Lihatlah di luar sana semua orang sibuk merayakannya. Bahkan tak jarang ada juga yang bangun pagi pagi sekali, berharap dirinya tidak telat pada pengibaran Bendera Merah Putih. Sementara aku, aku masih saja di sini di tempat ini Bit. Apakah aku mencintai Negeri ini?”

Ubit terdiam sejenak. Ia tidak mau langsung membantahku. Ia terus melemparkan senyumannya padaku.

“Agam. Mencintai Negeri ini bukan hanya di 17 Agustus saja. Dan keyakinanku para mereka yang seolah menunjukkan sikap heroik dan nasionalisme di hari ini hanya topeng. Bukan dari hati, namun takut pada atasan pemilik perintah. Semoga keyakinanku itu salah. Kawan, engkau telah mencintai Negeri ini, di sini, di hatimu. Merah Putih selalu ada dan berkibar dalam tubuhmu, sampai kapan pun. Sekali lagi Kawan, engkau mencintainya di sini, di hatimu, hingga tiap tarikan nafasnu, Merah Putih selalu berkibar dan terus berkibar tanpa henti. Seperti itu Kawan.” Jelas Ubit seraya menunjuk ke arah dadaku.

Aku menangis mendengarkan penjelasan Ubit. Mungkin benar yang dikatakannya, akan tetapi aku ingin sekali berada di sana di tempat pengibaran Bendera Merah Putih tersebut.

“Bit. Maukah kau menemaniku ke sana?” Pintaku padanya.

Ubit diam dan memandang ke arah ibuku. Ibuku yang airmatanya mulai berjatuhan menganggukkan kepalanya pada Ubit. Ibuku mengizinkan aku pergi ke sana.

“Boleh, tapi engkau harus makan dan minum obat dulu?” Kata Ubit.

Tanpa menunggu lama, kulahap sarapan pagu yang telah dihidangkan Ibu. Setelahnya segera kuminum obat. Aku tak mau menunggu lama. Aku takut telat. Hatiku senang, aku akan pergi ke pengibaran Bendera.

Ubit membawaku dengan becak milik ayahnya. Kami tiba di sana tepat sekali. Upacara Bendera baru saja dimulai.

Aku duduk di atas kursi roda tepat di sudut utara lapangan. Memandang tepat ke arah pasukan pengeret Bendera yang baru mulai bergerak.

Semuanya hening. Merah Putih sebentar lagi berkibar. Dan kudoakan selalu akan berkibar, selamanya.

Bendera Merah Putih hampir sampai ke ujung tiang. Lagu Indonesia Raya mengiringinya. Jiwaku bergetar. Hatiku meronta ronta ingin berteriak.

“Merdeka. Merdeka. Merdeka”

Hari ini mereka dengan mudah mengibarkannya. Aku membayangkan para pahlawan, para pejuang, yang mengorbankan segalanya untuk mengibarkan Merah Putih itu, demi kemerdekaan ini. Semoga tidak ada lagi pertumpahan darah. Semoga kemerdekaan ini dapat dijaga dan dihargai oleh seluruhnya.

Merah Putih telah berkibar. Aku memaksakan diri untuk berdiri. Aku ingin memberikan hormat padanya, pada benderaku, pahlawanku, dan negaraku.

Aku masih dalam posisi hormat pada Bendera. Tiba tiba semuanya buram. Ragaku serasa goyang. Mataku tak dapat lagi melihat apa apa. Hitam.

Suara Ubit terdengar memanggil manggil namaku. Semulanya terdengar lantang. Pelan pelan suara itu mengecil, perlahan hilang.

“Agam. Agam. Agam”

Semuanya kosong. Aku jatuh. Aku hilang. Aku lenyap.

Kedai Runding, 17 Agustus 2019
Penulis adalah seorang abdi masyarakat)*

Komentar
Artikulli paraprakAMANDEL: Operasi atau tidak, ya?
Artikulli tjetërTerima Remisi HUT RI, Dua Napi Rutan Takengon Hirup Udara Bebas