Analisaaceh.com, Subulussalam | Zaman ke zaman tradisi diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tapi generasi yang berikutnya ini mungkin tak lagi mempraktekkan tradisi tersebut, bahkan mungkin juga sudah tidak mengetahui esensi dasarnya dan hanya sekedar mendengar atau menjalankan.
Sapo Sekahia (Rumah Zaman Dahulu) misalnya, kini bangunan rumah seperti itu tak lagi bisa kita temukan di zaman sekarang, bahkan sekedar bangunan bercirikan tradisi rumah zaman dahulu pun sulit ditemukan.
Menurut Ketua Pembina Lembaga Pemerhati Suku Singkil (LPS2) Kota Subulussalam, Pulih Kombih, bahwa belakangan ini pihaknya sering melakukan perjalanan ke berbagai kampung yang ada di daerah kota Subulussalam dan kabupaten Aceh Singkil.
Dari perjalanan tersebut, kata Pulih, mereka sudah jarang menemukan bangunan rumah bercirikan tradisi dahulu.
“Saya sudah sulit menemukan bangunan rumah tradisi zaman dahulu di daerah kita ini. Padahal itu adalah merupakan salah satu sebagai warisan nenek leluhur kita yang ketika itu berada di pinggiran sungai Lae Souraya dan Lae Cinendang,” ujarnya.
Sulitnya menemukan rumah rumah Sekahia tersebut, kata Pulih, berawal dari terjadinya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2000-2004. Saat itu masyarakat yang berada di pinggiran sungai Lae Soeraya hampir seluruhnya mengungsi ke daerah darat.
Meski begitu, sebut Pulih, se bahagian masih ada juga yang bertahan, terutama masyarakat yang masih berada di pinggiran sungai.
“Mereka inilah yang sekarang masih mempertahankan bentuk bangunan rumah Sekahia sebagai saksi bisu untuk mengingatkan kembali bahwa dahulu bentuk rumah yang ditempati nenek moyang kita adalah berbentuk seperti itu,” ungkapnya.
Ketua pembina LPS2 ini melanjutkan, bentuk bangunan rumah-rumah Sekahia yang masih bertahan saat ini terdapat di desa-desa di Kecamatan Runding. Sedangkan di Kecamatan Longkib, juga beberapa desa yang masih menggunakan bentuk bangunan rumah arsitektur tua zaman dahulu tersebut.
“Khusus daerah Kota Subulussalam, masih mempertahankan bentuk bangunan rumah Sekhia adalah kecamatan Runding, dan sebagian masih ada juga di Kecamatan Longkib,” terangnya.
Selaku pembina LPS2 yang juga mencintai rumah tradisi Sekahia ini, Pulih berharap, meski saat ini kita sudah berada di era modern, tetapi hendaknya bentuk rumah rumah Sekahia itu harus kita lestarikan.
Setidaknya, kata Pulih, rumah yang dibangun meskipun megah dan permanen, tapi jangan menghilangkan motif ciri khas rumah suku Singkil zaman dahulu.
Pihaknya meminta kepada pemerintah Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil melalui instansi terkait, hendaknya dapat melestarikan rumah-rumah Sekahia tersebut, sebab itu merupakan rumah tradisi suku Singkil.
“Pemerintah di dua daerah ini harus melukiskan itu sebelum semuanya punah, karena ini adalah merupakan salah satu warisan nenek moyang kita,” harapnya. || Junaidi Capah