Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sepekan terakhir, masyarakat dihebohkan dengan rencana penataan dan penertiban kawasan sepanjang bantaran Krueng Aceh yang mengakibatkan akan digusurnya sejumlah usaha masyarakat seperi warung kopi, taman serta perkebunan.
Hal itu berdasarkan keputusan Gubernur Aceh Nomor 362/1337/2020 yang telah membentuk tim terpadu penataan kawasan kanal Krueng Aceh yang terdiri dari unsur SKPA, Pemerintah Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Unsur Kecamatan dan TNI-Polri.
Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Fajran Zain turut menyayang tindakan tersebut baru dilakukan sekarang disaat usaha masyarakat sedang bangkit dan maju. Padahal hal itu bisa dilakukan dari dulu saat usaha masyarakat belum berkembang.
“Kenapa penataan itu baru dilakukan saat ini, kenapa tidak dilakukan sejak dulu. Misalnya, kalau tidak bisa untuk warung, kenapa tidak dilakukan penindakan sejak awal,” kata Fajran, Rabu (19/8/2020).
Lalu, terkait permasalahan itu ia mempertanyakan beberapa kebijakan pemerintah. Pertama, apakah pemerintah bisa bersikap konsisten dan adil dalam proses penataan tanah itu. “Jangan sampai nanti ada pihak yang ditindak dan ada pihak yang dibiarkan, Ini yang harus dijawab secara serius,” ungkap Fajran.
Kemudian, ia juga menanyakan terkait gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang sudah berdiri sejak beberapa waktu lalu. Bila memang dilakukan penertiban apakah masih mungkin bila dilakukan penindakan terhadap gedung itu.
“Bayangkan ada gedung milik negara (Gedung Arsip) yang sudah terlanjur dibangun di atas lahan tersebut, apakah masih mungkin bila dilakukan penindakan saat ini ? Jangan sampai sesama lembaga negara ternyata tidak ada koordinasi,” ungkap Fajran.
Selanjutnya, ia juga heran dalam penataan Krueng Aceh harus melibatkan aparat kepolisian dan militer. Menurutnya hal itu jelas bertentangan dengan peraturan yang menyebutkan bahwa tupoksi TNI tentang keamanan dan pertahanan eksternal.
“Ini kan sama dengan menyegarkan ulang semangat Dwi Fungsi ABRI dimana keberadaan TNI/POLRI ditarik lagi ke ranah sipil, ke ranah reformasi sistem ketatanegaraan yang sudah diperjuangkan sejak lama dengan memberikan ruang bagi institusi keamanan untuk ikut-ikutan mengklaim lahan,” jelas Fajran.
Sebagai contoh keterlibatan lembaga ketahanan, ia memaksudkan kasus debat kepemilikan lahan lapangan Blang Padang yang sudah dimiliki secara mutlak oleh Pihak TNI.
“Ingat tidak pada kasus Blang Padang yang ditulis dengan plang nama “Tanah ini miliki TNI” Lalu terjadi debat soal kepemilikan lahan, namun pada akhirnya lahan tersebut ya jadi milik TNI, bukan milik Pemerintah Aceh, rela atau tidak. Apakah Plt sadar akan hal ini?,” beber Fajran.
Kemudian, terhadap penggusuran sejumlah tempat usaha warga, ia menilai di dalamnya ada kesan subjektif. Seolah-olah penataan dilakukan karena memiliki muatan-muatan pribadi. Belum lagi dampaknya yang akan menghilangkan sumber perekonomian banyak orang.
“Pasti akan banyak yang mengganggur lagi, belum lagi bagi mereka yang mengandalkan sistem financing dari pihak ketiga, tentu hal ini akan menyulitkan mereka untuk mengembalikan biaya-biaya yang sedang mereka putar di unit usaha yang baru itu. Kalau mau bredel, ya bredel-lah jauh-jauh hari,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Fajran berharap adanya ketegasan dari pemerintah soal regulasi terkait penataan itu. “Kalau tak boleh ya tak boleh. Kalau boleh ya boleh. Lalu sosialisasi dan peringatan yang dilakukan jauh-jauh hari, lakukan secara rutin dan konsisten,” katanya.
Terakhir ia menyarakan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan dengan tegas dan tidak tebang pilih, karena hal ini akan menurunkan wibawa pemerintah dan menimbulkan sakit hati bagi mereka yang merasa dirinya sebagai target pemberlakuan regulasi.