Oleh: Abu Bakri
“Tidak! Kamu tidak boleh menikah dengan laki-laki itu.”
Bentakan keras sang ayah masih menggiang diingatan Maisarah. Malam itu, jam menunjukkan pukul 00:02 WIB. Dia masih belum bisa tertidur. Jalinan kasih yang terpatri begitu lama harus pupus, hanya karena ego dan argumentasi berbalut budaya yang mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dengan dalil-dalil Al-Quran.
Maisarah masih ingat, senja yang indah di Uyem Beriring (sebuah tempat wisata di Gayo Lues).
“Andi” kata pria itu, sambil menyodorkan tangannya.
“Oh..maaf bukan muhrim,” kata Maisarah, sambil mengatupkan kedua tangannya, dengan sedikit membungkuk.
“Oh..tidak apa-apa,” kata Andi sedikit grogi, sambil menarik tangannya. “Saya, Andi, kalau boleh tau nama kamu siapa?” tanya Andi.
“Saya Maisarah,” jawab Maisarah singkat.
Ya, mulai saat itulah Maisarah dan Andi mulai sering bertemu. Maisarah sering membawa Ani, teman bekerjanya mengajar mengaji di sebuah pesantren di Gayo Lues, untuk menemui Andi. Dari situlah binar-binar cinta mulai menyahut. Maisarah menilai Andi adalah pria yang baik dan tetap santun. Walaupun mereka tidak bisa menggambarkan gaya berkenalan seperti di zaman nabi. Detidaknya, batasan-batasan yang diajarkan agama masih mereka pegang kuat-kuat.
Dan tibalah pada waktunya mereka saling ingin memiliki. Apalagi, sudah lama Maisarah mengenal Andi, dan juga sebaliknya.
“Saya hanya ingin, kamu dapat menjadi imam dalam hidup saya, membimbing saya menjalani hidup dalam persinggahan bahtera rumah tangga yang singkat di dunia ini”. Hanya itu yang diminta Maisarah saat Andi mengutarakan keinginannya untuk menikahi dirinya.
“Astagfirullah hal ‘azim,” ucap Maisarah sambil menepuk bantal guling di dekatnya. Dia masih tidak habis pikir, mitos yang sudah lama harus dijadikan sebuah alasan untuk memutuskan hubungan cinta mereka berdua.
“Kamu harus tau, kita tidak boleh melanggar hal itu,” ucap Ayah Maisarah. “Apalagi ayah disini tetua adat, bagaimana nanti orang-orang menilai ayah.”
“Ia, Ayah, tapi kan tidak ada dalil yang mengharamkannya saya menikah dengan Andi, apalagi dia pria yang baik Ayah. Rajin sholat dan mengaji, bukankah pria seperti itu yang akan ayah jadikan suamiku,” bela Maisarah.
“Ia, tapi ini sudah menjadi budaya Nak, perempuan maupun laki-laki dari desa kita tidak boleh menikah dengan laki-laki maupun perempuan dari desa mereka. Jika ini dilanggar akan berakibat fatal. Kalian tidak akan bahagia, musibah bisa saja terjadi.”
Mendengar penjelasan ayahnya yang bagi Maisarah mulai tak rasional, dia masuk ke kamar dan mulai menangis. Bukankankah, adat dan budaya yang bertentangan dengan agama harus dihapus, apalagi jika masih hanya mitos yang belum tentu kebenarannya.
Ah.. Maisarah mulai malas mengigat-ingat pembicaraan itu dengan ayahnya. Tapi, apalah tanpa restu orang tua dia tidak akan bisa menikah dengan Andi.
Meski jam dinding yang ada dikamar tidurnya mulai menunjukkan pukul 00:03 lebih, dia masih belum bisa tertidur. Maisarah, menyapu air mata di pipinya. Dia menyadari kisah mereka tidak harus ditangisi. Perlahan dia bangkit dan berwudhu. Membentangkan sajadah, dan berd’oa pada tuhan, apapun yang yang akan terjadi hanya dengan ijin Allah, apalagi besok dia harus bertemu dengan Aadi, menjelaskan semuanya. Sulit memang, merubah budaya yang sudah lama terjadi ditengah masyarakat, walupun itu bertentangan dengan agama***
“Biarlah, kalau memang mintos yang sudah membudaya tidak bisa mempersatukan kita. Biarlah tuhan yang tau, dengan segala kebesarannya,” kata Andi, mendengar penjelasan Maisarah. Kecewa, tentu, pasti Andi merasakan hal itu, semua anak manusia akan merasakan kekecewaan, apalagi jalinan cinta yang mereka ikat selama ini semua karena tuhan, dengan rambu-rambu tuhan dan batas-batas dalam agama, tak seperti kebanyakan jalinan muda-mudi lain, dengan gaya kebarat-baratan, melanggar batas agama dan semua yang tidak disukai tuhan.
“Kamu, tidak boleh kecewa,” kata Maisarah, sambil mengusap bulir kecil yang mulai turun dari kelopak matanya, sambil sedikit membetulkan cadar hitam yang menutupi wajahnya.
“Tidak! Aku tidak kecewa, apalagi dengan kebesaran Tuhan kita dapat dipertemukan di sini, walau mungkin dengan takdir Tuhan pula kita harus berpisah, disini, Hablum ninannas, tidak ada batasan dimata Tuhan, apalagi kita sesama muslim,” ucap Andi, mencoba tegar.
Sikap Andi yang begitu polos dan dewasa, membuat Maisarah harus tertunduk dan mulai tak tahan dengan keadaan yang harus mereka terima. Namun, dia juga berusaha untuk tetap tegar, karena dia tau Tuhan tidak suka kesedihan yang berlebihan.
“Tetaplah semangat, kita tak boleh bersedih, mungkin dengan apa yang kita alami hari ini, Tuhan ingin menunjukan, aku bukanlah perempuan yang baik untukmu,” kata Misarah, setelah lama terdiam.
“Tidak, bukan itu,” ucap Andi, “kita hanya tak bisa berbuat dan harus tunduk pada kata budaya, walau kita tahu itu sangat tidak baik, kita harus menjadi korban mintos yang tidak berdasar, bahkan berdosa untuk mempercayai inya, tapi apalah daya, kekuatan cinta tak mampu memutus itu.”
“Sabarlah,”ucap Maisarah, “Mungkin hari ini kita harus berpisah, Saya berharap tidak ada luka, dendam dan dengki yang harus tersimpan dari kisah ini.”
“Tidak akan,” Andi langsung memotong ungkapan Maisarah, “kita tau, pepatah berkata, “cinta tak harus memiliki” tapi itu salah, yang sesungguhnya cinta karena Allah, ialah cinta yang harus memiliki, karena yang tidak mampu untuk memiliki, itu bukanlah cinta karena allah, tapi apa daya, kita tidak punya kekuatan untuk itu, Restu ayah dan ibu juga tidak kalah penting bagi kita,” ucap Andi, mulai sedih.
“Biarlah,” kata Maisarah sambil mengalihkan pandangan pada sudut tempat itu, “ayo kita pulang, senja mulai datang, pekat hitam akan menghampiri, tapi jangan sempat menyelimuti hati kita. Biarlah seperti pagi yang berselimut embun, sirna ketika Cahya mulai datang. Anggaplah pertemuan kita seperti itu, terpisah karena sebuah cahaya indah yang akan datang dimasing-masing hidup kita kelak,” ucap Maisarah, mereka sama-sama mencoba untuk tegar.
“Ia, kita terpisah, bukan karena lahir dijaman Siti Nurbaya, tapi ada dijaman budaya yang bertentangan dengan agama,” ucap Andi, sambil sekali melihat wajah Maisarah, tepian cadarnya mulai basah dengan air mata dan pandangannya tertunduk kebawah, sayu pandangan matanya, lembut pada sikapnya, dialah cerminan ibu masa depan yang diinginkan semua insan.**
____
Abu Bakri
Terbiasa dengan dunia tulis menulis, Abu Bakri, pria kelahiran Kab. Gayo Lues, 20 Juli 1991 juga berprofesi sebagai wartawan di negeri seribu bukit. Dari hasil pernikahan dengan Rosmidawati, Amd. AK, pasangan ini dikaruniani seorang putra bernama Alzam Arsalan Agnar.
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Sebanyak lima ruko tempat usaha di Gampong Lambheu, Simpang Lampu Merah…
Analisaaceh.com, Tapaktuan | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Aceh (PA), T.…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe sukses menyelenggarakan debat kedua calon Wali Kota…
Analisaaceh.com, Lhokseumawe | Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Aceh bekerja sama dengan Development for…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Panitia Pengawasan Pemilihan Aceh (Panwaslih) Aceh memetakan potensi Tempat Pemungutan Suara…
Analisaaceh.com, Banda Aceh | Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa…
Komentar