Categories: CERPENKOLOM

Al-Gibran

*(Oleh : Rahmat Rohadi

Suara-suara tangisan bayi memenuhi ruangan. Sesekali terdengar suara ibu-ibu sedang meninabobokan bayi-bayi itu, tapi tidak denganku. Aku tidak menangis, aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya menikmati suasana baru dan tempat baru ini.

Seorang perempuan muda mendekatiku. Kupikir ia ibuku, ternyata batinku tidak menyambut, naluriku berkata lain. Dia bukan ibuku. Dia hanya seorang pekerja yang dibayar pemerintah untuk mengurusku dan mengurus semua bayi-bayi itu.

Wajah ibuku masih samar-samar untuk kubayangkan. Aku belum dapat menatapnya dengan seksama. Sore itu, seiring suara tangisku, mereka membawaku kesini, di tabung yang kukira pemisah antara aku dan ibuku ini.

Aku adalah putra pertama dari orangtuaku. Namaku Raka Pradana Al-Gibran. Terserah mereka mau menyapaku dengan apa, namun ibuku lebih senang memanggilku Al-Gibran. Itu kudengar ketika aku masih berada di rahimnya.

Sementara ayahku tak banyak berkomentar mengenai panggilan atau sapaan namaku. Terpenting ia yang memilih nama itu dan menurutnya pula makna yang terkandung di dalamnya. Katanya, mau panggil Raka, mau sapaanku Pradana atau pun Al-Gibran, semuanya oke dan punya makna tersendiri, kata ayahku begitu.

Hatiku mulai resah. Satu persatu dari kami dikeluarkan dari ruangan ini untuk menjumpai ibunya. Sementara aku masih setia disini, di tempat yang kukira ini rahim kedua setelah rahim ibuku.

Aku bermimpi. Wajah cantik ibuku berubah muram. Ia menangis memikirkanku. Bagaimana tidak, wanita yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk melahirkanku itu belum dapat memelukku. Kuyakini hatinya itu remuk dan hancur bereping keping. Namun apa yang dapat dilakukannya selain menangis dan terus menangis, tak terlepas doanya untukku.

Tiba-tiba wajah lelaki muda mendekatiku. Ia merangkulku, menciumku sembari meneteskan air matanya. Ya, dia ayahku. Lelaki yang terkesan tegar dan kuat di hadapan ibuku adalah sosok yang lemah kukira. Aku tak menangis sementara ia menangis. Ia kuat hanya untuk menghibur ibuku, padahal hatinya juga gundah nan tak terhingga.

Kemarin, sesaat setelah aku lahir, ia melantunkan azan begitu merdu yang membuatku nyaman kala itu. Aku sangat bangga pada Ayah. Mataku menatapnya. Waktu itu mata ayahku juga berkaca kaca sama seperti hari ini. Ia juga meniupkan beberapa bait doa dan kata padaku.

Page: 1 2

Andri Sembiring

Komentar

Recent Posts

Sejak Juli, 20 Karhutla Terjadi di Aceh Besar, 5,24 Ha Terbakar

Analisaaceh.com, Aceh Besar | Sebanyak 20 kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di Kabupaten…

3 jam ago

Kapolri Nikmati “Kupi Khop” di Stan Bhayangkari Aceh

Analisaaceh.com, Jakarta | Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo bersama Ketua Umum Bhayangkari Ny.…

3 jam ago

Rapat Paripurna DPRK Abdya Molor, Banyak Anggota Tak Hadir

Analisaaceh.com, Blangpidie | Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat Daya (Abdya) molor…

8 jam ago

Tiga Mahasiswa SKI FAH UIN Ar-Raniry Raih Juara Nasional di OSINAS 2025

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Tiga mahasiswa Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan…

1 hari ago

Safaruddin, Inspirasi Anak Muda Aceh – Anak Tukang Jahit Jadi Bupati

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Dr Safaruddin, menerima penghargaan The Aceh…

1 hari ago

Gubernur Aceh Bakal Bentuk Satgas Rumah Layak Huni

Analisaaceh.com, Banda Aceh | Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem bakal membentuk satuan tugas (Satgas)…

2 hari ago