Serdadu Tak Bertuan

Suara dentuman masih menghiasi subuh menjelah pagi itu, bak petasan di malam tahun baru. Tiba-tiba, puluhan popor senjata mengarah padanya, dari remang-remang itu terlihat wajah-wajah beringas yang tidak dikenali. Salah seorang dari wajah-wajah beringas itupun berkata “Menyerah atau Mati” ?. Ayahnya pun bangkit berdiri dengan kondisi lutut dan paha yang berlumuran darah.

Berada di tengah-tengah puluhan popor senjata, pelan tapi pasti “Allahhu Akbar” praaaap……. mata parang mengais, meradang, menyalip, menancap pada wajah-wajah beringas itu. Saat itulah beberapa pelopor senjata itu memuntahkan timah panas pada sosok tubuh yang sudah cidera itu. Braaam…tubuh itu roboh kembali kepangkuan tanoh indatu.

Yong yang dari tadi masih terlihat lesu, terduduk sambil mendengarkan kronologis kejadian yang di ceritakan oleh temannya. Selesai dimakamkan dan di lanjutakan dengan do’a. Sebagian dari rombongan komando rimba itu kembali ke tempat persembunyian mereka, dan beberapa orang masih menemani Yong yang masih duduk menatap kosong pada kuburan sang Ayah.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, Yong berdiri melangkah menuju nisan sang Ayah, mencium nisan sembari bergumam “engkau sang pejuang yang kekal, pejuang yang memilih mati dari pada menyerah pada musuh. Insya Allah jika Allah mengizinkan, maka aku akan menyusul Ayah”. Berlahan dia mundur beberapa meter seraya berbalik bergegas pergi meninggalkan pusara sang Ayah.

Keesokan harinya, Yong duduk di teras gubuk tua di pinggir jurang, gubuk itu adalah tempat pemantauan musuh. Ditemani secangkir kopi yang masih panas, rokok cerutu impor buatan Kuba dirongoh dari saku rompi anti peluru. Perlahan dan cukup dalam cerutu itu ditarik sembari tangannya sibuk membersihkan senjata laras panjang.

Setelah semua selesai, ia meraih rompi dan memaksakan kakinya masuk ke sepatu yang agaknya sempit. Ia berlalu dari gubuk itu dan masuk ke semak-semak, terus melangkah cepat berlalu di antara terjalnya bebukitan rimba.

Sampai di sebuah batu terjal yang sering mereka sebut dengan “Batee Manyang” ia duduk memandang ke arah kota Bakongan. Kota Bakongan sangat jelas terlihat dari atas pentagon “Batee Manyang”. Di sinilah tempat pemantauan para komando rimba jika mereka ingin melancarkan setiap serangan atau hanya sekedar memantau pergerakan musuh.

Cukup lama Yong berdiam diri dengan tatapan kosong, dan akhirnya Yong bergebas kembali kepersembunyian. Langkah pelan itu dikejutkan dengan dentuman pelontar dari arah tempat di mana mereka mendirikan tenda sebagai tempat persembunyian. Yong berlari tak karuan menuju tempat itu, suara-suara dentuman itu saling bersautan meraung memecahkan keheningan rimba tanpa henti.

Sesampai di sana, Yong melihat serdadu Wali yang sedang memapah seorang wanita berpakaian loreng terkena timah panas di lengannya. Yong membantu sambil sekali-kali melepaskan timah panas dari senjata laras panjang miliknya. Pertempuran sengit tak terelakkan, mereka terpencar menjadi bagian-bagian kecil.

Mereka mundur perlahan dengan tembakan-tembakan balasan ke arah musuh. Entah berapa orang rekan mereka yang tumbang dalam pertempuran ini. Yong dan rekan-rekannya terus berjalan menelusuri lebatnya hutan, tanpa makanan untuk mereka makan.

Setelah puluhan kilo perjalanan menerjang pekatnya rimba, mereka istirahat di pinggir sebuah sungai kecil untuk melapaskan dahaga. Setelah dahaga terpuaskan dengan hanya meminum air dari sungai kecil yang ada, mereka beristirahat sembari mencoba untuk membersihkan luka wanita berpakaian loreng yang terkena timah panas dengan daun-daunan yang entah apa namanya. Luka itu disumpal hingga darah mengering.

Dari sudut bebatuan, salah seorang dari mereka berbicara “inilah perjuang, kita tidak digaji, kita tidak dijanjikan, kita berjuang dengan keyakinan tanpa paksaan, kita menuntut hak, dan kita berdiri serta mati di tanah indatu kita”.

Suatu saat nanti kita mungkin saja akan tercerai berai, kita akan saling menyalahkan dan mungkin juga kita akan menyalahkan perjuangan ini, karena kita menganggap tidak adil pada diri kita. Namun ingatlah satu nasehat Wali kita “Doeng Beukoeng Beu Teugloeng Lagee Teu Pula”.

Bersambung………

Penulis adalah seorang Guru SMAN 1 Bakongan Timur

Komentar
1
2
Artikulli paraprakKasdam IM Pimpin Upacara Sertijab Danyonif Raider 112 Dharma Jaya
Artikulli tjetërBappenas Benarkan Lahan Ibu Kota Baru Dikuasai Sukanto Tanoto