Gustav duduk di depanku dengan secangkir kopi. Dia yang tersisa dari rombongannya yang akan berangkat pulang hari ini, beberapa jam lagi. Kami semua lega karena masalah dapat terpecahkan. Seluruh rombongan haji dari Jerman itu akhirnya menggunakan travel kami untuk kembali pulang setelah agen perjalanan mereka meninggalkan mereka di Hotel dengan semua uang yang raib dan biaya hotel yang belum lunas.
Aku rasa, pertemuanku dengan Gustav bukanlah kebetulan belaka. Semua seperti sudah jalan dari Tuhan. Dia memberiku banyak cerita dari Bonn. Ternyata, setelah beberapa tahun melalang buana tanpa tujuan, Gustav yang seorang petualang, akhirnya pulang kampung dan menetap di sana. Dia tidak menjadi arsitek atau dokter seperti keinginan orang tuanya, tapi malah membuka gerai jual beli daging halal yang terbilang sukses. Gustav umrah bersama istri dan anak laki-lakinya yang baru berumur 3 tahun. Aku sama sekali tidak percaya Gustav bisa menjadi laki-laki domestik— sebutanku untuk pria yang peduli keluarga. Tapi, di balik antusiasku mendengar semua ceritanya, terselip keinginanku untuk mendengar kabar dari Torsten.
Ketika melihat Gustav, istri dan anak laki-lakinya yang bermata biru langit, kubayangkan Torsten, Katja dan anak mereka yang entah mungkin sudah dua atau tiga. Gustav sepertinya tahu dengan kegelisahanku. Setelah sekali meneguk kopi hitamnya, dia tiba-tiba berkata dengan hati-hati.
“Aku tidak pernah ketemu Torsten hampir 8 tahun. Benar-benar lost contact. Tidak ada nomor ponsel, e-mail atau facebook, dan kau tahu dia alergi twitter…, ” katanya sambil tersenyum.
“Mungkin menikmati peran barunya sebagai ayah, seperti kamu…,” kataku sambil tersenyum juga.
Gustav membalas sambil membenarkan duduknya. “Kapan kembali ke Bonn?”
Aku dibuat tercengang dengan pertanyaan itu.
“Kantormu yang dulu masih bertanya-tanya akan kembalikah karyawannya yang menguasai tujuh bahasa itu?”
Aku menghela napas, mencoba mempertahankan senyum dengan bibir yang gemetar.
“Aku masih belum berani kembali ke sana, Gustav. Aku sendiri masih sulit percaya mengapa waktu belum juga bisa menyembuhkanku,” kataku gusar.
“Kau takut dia ada di sana?”
Aku melihat Gustav dengan tanda tanya besar. Sebenarnya aku pun tak yakin dia ada di sana.
“Kalau dia di sana, aku pasti sudah bertemu dengannya, Zuhra… Jangan membenci sebuah kota yang tidak bersalah itu karena satu orang yang menyakiti hatimu.” Kata-kata Gustav membuatku terhenyak.
Benarkah, aku membenci Bonn sebegitu besarnya?
“Baiklah, aku harus menyusul yang lainnya. Aku harap kita dapat makan karotenkuchen di CassiusGarten kita lagi.” Gustav membuat lamunanku kembali, seolah-olah aku sedang duduk makan kue wortel di kafe tempat kami biasa berkumpul di Bonn. “Aku ingin kamu mengenal keluargaku lebih baik lagi. Istriku pasti akan sangat senang karena kalian satu tanah air.”
Aku mengangguk. “Insya Allah,” balasku seraya mengantarnya keluar pintu.
Torsten sedikit mirip Gustav. Hanya saja, Torsten berambut lebih gelap dan bermata biru terang. Itu sebabnya, pertemuan dengan Gustav membuatku semakin gelisah. Sudah delapan tahun aku dan Torsten berpisah. Hah, benarkah sudah selama itu? Kenyataannya, aku dan Torsten nyaris menikah. Kami baru akan mengambil cetak undangan dua hari berikutnya bila Katja tidak tiba-tiba kembali ke kehidupan Torsten.
Mereka mungkin memang pasangan yang sejati. Tidak seperti bayanganku, mereka belum dapat saling melupakan. Kisah cinta dari remaja yang putus sambung dan kerumitan hubungan karena perbedaan keyakinan rupanya tidak berhasil memisahkan kisah cinta mereka. Torsten dan Katja akhirnya menikah, bukan?
Aku bertemu Torsten di awal tahun kedatanganku di sebuah Kota Bonn, Jerman. Kami menghadiri undangan perpisahan temanku sesama warga negara Indonesia yang akan segera pulang ke Aceh. Acara itu di sebuah restoran di Koln, berdekatan dengan Bonn tempatku menempuh pendidikan master. Waktu itu, Maag-ku kambuh. Aku demam, tak bisa makan dan izin pulang duluan. Oleh sahabatku, dia meminta Torsten mengantarkanku, minimal sampai stasiun kereta. Tapi, Torsten justru mengantarku sampai di depan pintu apartemenku. Dan, rasanya tak enak hati bila membiarkannya langsung pulang. Maka, setengah jam kemudian, kami habiskan dengan mengobrol ini itu sambil minum teh.