Yang Tertinggal di Langit Bonn

Seandainya kami di delapan tahun lalu, dia pasti sudah memelukku. Tapi, Torsten dan aku telah berbeda. Pengalaman masa lalu dan cerita setelah itu membuat suasana begitu kikuk, kaku, tak terkatakan, tak terjelaskan. Tak ada tangan yang saling menyentuh, tak ada tegur sapa yang mewakili segala gusar dan tanda tanya. Kami hanya mampu diam, duduk bersebelahan, dan kembali hening.

Hampir satu minggu di Bonn. Aku tidak kemana-mana. Aku hanya mengurung diri di apartemen sewaan. Setiap hari, Torsten mendatangiku. Meletakkan makan pagiku, roti dengan nuttela di depan pintu. Berhari-hari dia bersabar menungguku membuka pintu di setiap sore pulang dari sekolah. Hari itu, Torsten tidak lagi sabar menunggu. Aku melihatnya dari balik jendela. Biasanya setelah tahu yang menekan bel adalah dia, aku akan pergi dan berpura-pura sibuk. Tapi hari itu, aku bertahan di depan jendela kaca, memandangnya. Matanya menembus semua cerita yang lalu lalang di pikiranku, dan pikirannya. Didekatinya jendela seketika yang membuatku reflek melangkah menjauh.

“Buka pintunya…,” ucapnya memohon. Dan sore itu, kukabulkan permintaannya. Membuka pintu apartemenku, juga membuka pintu hatiku untuk mendengarnya.
“Apa yang harus aku lakukan untuk kamu memaafkanku?” tanyanya.
“Aku sudah memaafkanmu,” jawabku gemetar.
“Tapi kenapa masih ingin menikah dengan orang lain?”
“Kamu yang tinggalkan aku, Torsten!” kataku marah.
“Maafkan aku,” pintanya lagi.
“Rasa bersalahmulah yang harus mengampunimu!”
Aku terduduk lemah di kursi. Tak kusangka, laki-laki ini berjongkok di hadapanku. Membuatku begitu kikuk, tak tahu haruskah bangkit agar dia juga ikut berdiri. Tapi ditahannya tanganku, membuatku kembali terpaku.
“Andai aku tahu kamu di mana, sudah aku temui kamu bertahun lalu, andai aku tahu… Sudah aku…., Ya Allah…” Torsten mengiba. Duduk di lantai memegangi kepalanya. Aku terhenyak.

“Dan, Katja mengirim e-mail padaku tadi pagi. Katanya, kamu akan menikah. Benarkah semua itu?” Tatapannya menusuk. “Bagaimana caranya, kumaafkan diriku, kalau harus membiarkanmu pergi sekali ini lagi?” tanyanya, memaksaku membuang pandang dan menangis.

“Tak akan kubiarkan kamu pergi lagi, tidak akan lagi,” ucapnya, “tolong cintai aku sekali lagi. Sekali lagi, Zuhraku.” Bibirnya bergetar menyebut namaku. Panggilan sayangnya untukku, membuat pandangku semakin berkabut menatapnya.
“Beri aku waktu, Meiner Torsten…,” kataku tak terduga.
Torsten menatapku semakin dalam.

Langit Bonn begitu cerah hari itu. Burung-burung kecil masih bertengger meski dingin sore mulai merayap. Koper-koper kecilku berdiri tegak di depan pintu apartemen, menunggu giliran masuk ke dalam bagasi. Kupandangi apartemenku sekali lagi dari balik jendela taksi. Akhirnya tiba waktuku meninggalkan tempat bertapaku itu. Untuk ke sekian kalinya, ponselku berdering. Alfa memanggil. Aku diam. Supir taksi masih sibuk menyusun barang di bagasi. Apa yang harus kukatakan pada Ummi? Dan khususnya, Alfa? Taksi mulai berjalan pelan menuju tikungan, jendelanya masih terbuka sebagian.

“Frankfurt Airport, Pak.” Suara Torsten memberi aba-aba. “Pesawat Pukul 7, jangan terlambat, ya,” sambungnya penuh semangat.

Aku memaling padanya. Senyumnya menyapa wajahku. Kubalas dan menunduk. Mengulum senyumku yang sesungguhnya ingin meluap begitu saja.

Ponselku berbunyi sekali lagi. Alfa. Aku diam dalam keraguan. Tangan Torsten mengulur. Menyambut ponselku. Dibalasnya keberatanku dengan senyum.

“Biarkan aku yang angkat, ya?”
Tanpa menunggu aku mengangguk, Torsten sudah bicara. Kutahandebuman jantungku, mencoba menahan keinginan untuk curi dengar kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya.

“Zuhra pulang hari ini, dia pulang bersamaku, Torsten, semua akan kami jelaskan setiba di sana. Terima kasih pengertiannya.”
Kuremas ujung jilbabku dengan gelisah. “Tenanglah, aku akan temani kamu melewati ini. Tenanglah, Zuhraku…,” bisik Torsten di telingaku.

Perasaanku menyeruak antara tenang dan keresahan yang muncul silih berganti. Pada Alfa yang menunggu dengan gelisah, dan Torsten yang penuh percaya diri akan memperoleh cinta yang sama seperti bertahun lalu.

Sore itu, tak ada yang tersisa di langit Bonn. Kupetik sudah semua yang pernah tertinggal. Kugenggam, kuat dan erat. Berharap-harap cemas pada cakrawala Mekah. Akankah panas menghentak, atau beku yang menggugu. Menunggu kepulanganku.

*Cerita yang tak berkesudahan tentang cinta…

Komentar
1
2
3
4
5
6
Artikulli paraprakLakukan 6 Rutinitas Sebelum Jam 10 Pagi untuk Meningkatkan Kesehatan
Artikulli tjetërKabar Duka, Kajari Simeulue Tutup Usia