Yang Tertinggal di Langit Bonn

“Aku sedang belajar di salah satu kampus di sini. Belajar agama. Sesuatu yang telah lama aku tinggalkan,” katanya sambil menatap lembut. Senyumnya dengan tulus mengembang. Aku ingat pernah bertemu dengannya sekali. Ketika itu, dia memohon aku melepaskan Torsten. Dia tengah mengandung, wajahnya pucat pasi, rambut cokelatnya yang berombak terhampar begitu saja. Dia terlihat kacau. Jauh berbeda dengan yang kulihat hari ini. Dia tenang dan kelihatan bijaksana. Meski dia mengakui hanya mahasiswa, tapi aku yakin dia mengerjakan banyak hal hingga memiliki kepribadian seperti itu.

“Kamu berubah banyak…,” kataku.
Senyumnya semakin lebar. “Kamu juga.”

Tiba-tiba saja kami tertawa penuh kaku. Torsten, aku bertanya-tanya di dalam hati. Apakah dia juga di sini? Seketika rasa kangen memburu masuk, menggantikan oksigen di sekeliling kami. Apakah Torsten yang muslim telah kembali menjadi katolik? Di mana anak mereka? Anak yang akhirnya memisahkan aku dan Torsten sekaligus membawa Katja kembali pada orang dengan menyisakan kecewa panjang di hatiku.

Aku tertunduk dan menyeringai. Entahlah, aku begitu ingin tahu tentang Torsten. Tapi, setelah bertemu wanita ini, kurasa aku tidak begitu antusias lagi. Lembaran-lembaran pahit terbuka satu persatu.

“Maaf, aku tidak seharusnya memakai alasan apapun untuk memisahkan kalian,” ucapnya tiba-tiba. Teratur dan perlahan.

Aku menatapnya, dan dia mulai sibuk mencari tisu. Mengusap-usap matanya.

“Sudah selama ini, tapi rasanya masih seperti kemarin, ” isaknya. Dia diam sejenak, pura-pura tersenyum, menenangkan perasaan.

Aku diam membeku. Tak yakin akankah air mataku mengalir bergabung dengannya.
“Aku tidak ingin tahu apapun tentang Torsten lagi. Sudah lama aku membuangnya jauh-jauh,” kataku datar. Pandangannya sibuk mengaduk-aduk isi kepala dan perasaanku. Dia seperti tahu aku menyembunyikan sesuatu. Perasaanku yang sebenarnya.

“Kami sudah berpisah, Zuhra. Apakah itu tidak berarti sesuatu untukmu?” ucapnya pendek. Lalu matanya semakin dalam menembus benakku. Aku sangat tersinggung. Apakah maksudnya, setelah Torsten mengkhianatiku, lalu mengambilnya, dan sekarang, setelah penyiksaan bertahun-tahun ini, dia ingin mengembalikan Torsten padaku?

“Torsten hanya masa lalu. Aku akan menikah…,” kataku. Tiba-tiba aku sangat yakin dengan keputusan mendadak itu. Ya, aku ingin melupakan Torsten selamanya. Aku akan menuruti keinginan Ummi dan Alfa yang telah bersabar kepadaku selama ini. Tatapan Katja bergantian antara percaya dan tak percaya.

“Oh ya, apa kabar anakmu? Dia laki-laki atau perempuan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku pikir, aku siap untuk berdamai, dan anak itu juga bukan musuhku.
Air muka Katja berubah lebih keruh. Dia tersenyum dengan janggal, menahan butiran-butiran baru dari matanya yang siap meluncur.

“Saat tahu aku hamil, semuanya sudah terlambat. Butuh waktu untuk berani bicara pada Torsten. Aku depresi dan melakukan hal-hal buruk terhadap bayiku. Dia lahir prematur hanya beberapa bulan setelah kami menikah. Dan bertahan hanya beberapa jam karena kelainan jantung dan masalah medis lainnya,” isaknya.

Aku terperangah. Dadaku terasa berat. Terhenyak.

“Aku dan Torsten berpisah tidak lama setelah itu. Cobaan itu terlalu berat. Rasanya seperti sebuah hukuman,” sambungnya setelah menenangkan diri.

“Aku minta maaf padamu, Zuhra. Aku berusaha menemuimu beberapa kali. Tapi kau sudah tidak lagi di Bonn. Aku senang kau sekarang akan menikah. Aku mendoakan kebahagiaanmu.” Katja tulus mengucapkannya dalam pandangannya yang tak dapat kumaknai.

Kami berpisah di depan hotel. Aku melihatnya berjalan menjauh dengan perasaan yang semakin sulit kujelaskan. Tapi, inilah jawaban atas pertanyaanku selama ini, bukan? Lalu mengapa aku justru menjadi semakin gelisah?

Komentar
1
2
3
4
5
6
Artikulli paraprakLakukan 6 Rutinitas Sebelum Jam 10 Pagi untuk Meningkatkan Kesehatan
Artikulli tjetërKabar Duka, Kajari Simeulue Tutup Usia