Acara makan malam keluarga berjalan lancar. Oleh sebab keluarga angkatku berangkat ke Mekah untuk umrah, lamaran pun diputuskan untuk dilaksanakan di rumah sekaligus kantor Ummi. Seluruh keluarga Ummi yang ada di Mekah dan sekitarnya berkumpul malam ini. Anak-anak dengan gembira berlarian ke sana kemari di antara gelak tawa para orang tua dan remaja. Malam ini, aku bertunangan dengan Alfa.
Kami menjauh ke ruang tengah, duduk-duduk di sofa yang berhadapan dengan televisi. Alfa terlihat lebih ceria dari biasanya. Pakaiannya lebih santai, berwarna gading. Mekah sedang tidak begitu panas. Semua terasa sempurna. Kami bicara hal-hal ringan dan sekali-sekali tertawa renyah. Alfa membuatku merasa nyaman dan aku baru menyadarinya. Meski orang tua akan berkata berlainan, tapi kami sudah memutuskan tanggal pernikahan; usai musim Haji. Kantor pasti tidak akan seramai ini dan kami bisa berkeliling ke beberapa negara untuk bulan madu, seperti yang Ummi rencanakan.
Sejak aku tinggal di rumah Ummi, Alfa menempati kantor di lantai bawah. Dia mengubahnya menjadi tempat tinggalnya juga. Jadi, malam itu, akulah yang mengantar Alfa ke kantor, sekalian ingin mengambil beberapa surat. Di meja, aku melihat tumpukan bill. Di sudut lain meja, aku melihat selembar kartu pos berstempel Vatikan.
“Sudah berapa lama ini ada di sini?” tanyaku pada Alfa yang sibuk membereskan meja kerjanya.
Dia menoleh, “Kurasa beberapa minggu sejak kita kembali dari Vatikan. Ummi pernah bertanya, kupikir kamu tahu. Tulisannya berbahasa Jerman jadi kubiarkan saja di sana. Apa kamu belum baca?” tanyanya.
Aku menggeleng.
Liebe Zuhra,
Tahun-tahun berat sudah berlalu. Itu yang aku rasakan sejak bertemu denganmu. Aku berharap kau pun merasakan hal yang sama…
Zuhra, aku senang sekali mendengar kabar kalau kamu akan menikah. Semua orang layak mendapatkan kebahagiaan…
Tapi, sebenarnya, saat pertemuan kita kemarin, aku belum mengatakan semuanya. Beberapa tahun lalu, aku bertemu Torsten di sebuah seminar. Dia mewakili sekolahnya. Aku hampir tidak mengenalinya. Sekarang dia muslim sejati. Dia menjadi salah satu pengelola sekolah Islam di Bonn. Ya, Bonn. Ternyata, setelah perceraian itu, dia kembali ke sana. Mungkin, kami sama-sama mencarimu, Zuhra… mencoba melepaskan diri dari rasa bersalah dan penyesalan. Apakah kau tidak ingin tahu yang sesungguhnya? Menemukan jawabannya di sana? Di Bonn?
Sekali lagi, aku minta maaf… meski aku bisa melihat jawabanmu di pertemuan kita yang pertama dan kuharap bukan yang terakhir itu.
Aku mendoakan kebahagiaanmu…
Tubuhku gemetar menahan pikiran yang berkecamuk. Alfa menangkap isyarat kebingungan itu dan bertanya berkali-kali, berharap aku menemukan kesadaranku. Kemana perginya kepercayaan diriku saat mengatakan aku sudah melupakannya dan akan memulai hidup yang baru dan penuh kebahagiaan tanpa dia?
“Bolehkah aku cuti beberapa hari?” tanyaku terbata.
Alfa menatapku bingung. “Ada berita apa di kartu itu?” tanyanya sebelum membalas pertanyaanku.
“Sangat penting,” jawabku singkat, dan Alfa tahu aku tak akan meneruskan kalimatku lebih panjang lagi.
Aku tiba di Bonn. Kota itu baru saja berpisah dari salju. Musim semi yang hangat menyapaku ketika aku melangkah turun dari taksi di depan sebuah sekolah Islam yang sebelumnya tidak ada ketika aku masih di sini. Dengan berdebar aku bertanya tentang Torsten. Sebuah pertanyaan yang bodoh, karena aku tahu dia sudah mengubah namanya.
Setelah menunggu beberapa lama, seseorang dengan jubah berwarna putih, bertubuh tinggi dengan sorban menghampiriku. Aku terpana. Sekilas sadar, orang ini bukan Torsten meski sudah berhasil membuat jantungku melompat keluar.
“Aku dan Torsten pengajar dan pengelola di sini. Beliau keluar sebentar. Ingin tunggu saja?” Laki-laki itu berkata ramah.
“Oh, saya ke musolla saja, belum salat Dhuhur,” jawabku.
Berada di musolla yang lengang. Waktu sholat Dhuhur sudah berlalu beberapa lama. Aku berwudhu. Menyentuhkan air ke mukaku yang tiba-tiba berembun. Aku sudah kembali begitu jauh dan bukannya bertambah tenang, justru merasakan dadaku semakin sesak. Aku mengisak. Tak tahan, lututku menjatuhkan diri ke lantai. Tidak ada seorang pun di sekitar sehingga aku merasa bebas bersuara pelan dan berat. Memecahkan tangis yang telah lama tidak pernah aku lakukan lagi. Aku beristigfar terus menerus. Menekan-nekan dada kiriku yang terasa demikian sakit. Berkali-kali menyebut nama Tuhan, menenangkan hati dan pikiranku. Pakaianku basah oleh air wudhu dari kran yang kubiarkan menyala. Tangisku larut dalam suara jatuhan air yang membasahi lantai.
“Anda tidak apa-apa? Apa yang terjadi?” Suara itu bergema di telingaku. Kusembunyikan mukaku dan menoleh ke arah berlawanan darinya.
“Anda bisa berdiri?” tanyanya lagi, dan mataku yang basah kututupi dengan selendang. Aku berdiri dengan susah payah dan berhasil menyejajarkan diri dengannya. Dan, aku begitu kaget hingga melepaskan kembali selendang dari mukaku. Torsten! Aku melihatnya. Tepat di hadapanku. Dia pun tidak kalah terkejut melihatku.
“Zuhra?” Torsten terperanjat.
Aku menatapnya lekat-lekat dari balik selendang yang seolah menjadi tamengku. Air mataku jatuh satu persatu, enggan berhenti. Selanjutnya yang terjadi, dia menungguku salat, duduk di tangga musolla, membelakangiku.
Kuhampiri dia. Sambil mendongakkan kepala, dipandanginya aku. Wajahnya begitu bersih, rambutnya tidak lagi setengkuk, dipotong pendek dan rapi. Air mukanya jernih meski ditemani jambang dan janggut tipis. Pakaiannya berwarna putih dari katun. Aku tak mampu berkata apapun, air mataku saja yang berbulir-bulir kembali jatuh mengalir.