Senja Bersamamu

“Bang, itu haus atau rakus?”.

Berharap Heri berhenti menggangguku, aku menatapnya tajam, “Ngapain kamu bertanya? Kamu mau abang makan?”

“Papa….. teriak Heri, yang membuat aku ngakak melihat adiku satu-satunya takut dengan perkataan ku itu.

Setelah aku selesai minum, aku segera naik ke atas menuju kamarku. Pilihanku saat itu adalah membuka handphone dan melihat story instagram Fania. “Sebenarnya cinta itu sangatlah indah, seharusnya cinta itu bisa membuat keadaan yang gak baik menjadi baik. Bukan sebaliknya, menghancurkan apa yang telah aku persiapkan. Mungkin, ini bukan cinta. Atau aku sendiri yang tidak memahami apa itu cinta.”

“Jadi Fania menyukai seseorang, Fania cuma memendam perasaan itu. Siapa orang yang dia sukai?, kenapa dia tidak bercerita kepadaku. bukankah aku bukan orang yang asing baginya, Aku sahabatnya”, tanyaku yang penuh dengan rasa penasaran.

Aku lupa bahwa sebulan ini aku terlalu mementingkan perasaan dan egoku sendiri. Mana mungkin Fania bercerita kepadaku, sedangkan aku asik meminta Fania untuk mendekatkan aku dengan Bunga untukku. Akhirnya senja telah berlalu dan malam segera datang. Selesai shalat Insya, aku memutuskan untuk tidur.

Pagi esoknya aku bertemu Fania di perpustakaan kampus. Nampak sekali dia berusaha kabur dariku. Tapi dia terlambat, karena aku telah menghalau jalannya.

“Fania, kamu ingatkan kita telah lama kenal?, bahkan kita telah menjadi sahabat dan sudah seperti saudara. Apa kamu ada masalah?, atau apa aku yang salah dengamu? Ayo Fania jawablah, luka apa yang telah aku berikan? Jawablah Fania, jangan membuatku gila seperti ini?”, tanyaku yang penuh harap.

“Haikal, kamu temanku, gak baik kamu menyalahkan dirimu sendiri. Berilah aku waktu. Tolong jangan menggangguku untuk beberapa waktu ini”, jawab Fania yang hanya merunduk.

“Terus apa yang membuatmu berubah? Apa kamu sedang ada masalah, berbagilah kepadaku Fania? Aku teman mu, aku selalu ada untukmu”.
“Aku sebenarnya menyukai seseorang, tapi dia tidak menyukaiku, tidak masalah. Aku hanya membutuhkan waktu untuk sendiri. Jadi, tolong jangan menggangguku Haikal. Aku baik-baik saja, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Ingat Haikal, kamu jangan menjadi pendiam sepertiku. Kalau kamu memang menyukai Bunga. Temanku, maka perjuangkanlah perasaan mu itu. Jangan menjadi pencundang sepertiku”, jawab Fania yang mulai menatapku.

“Fania, saat ini kamu butuh aku”,
“Tidak kok Haikal, aku memang menyukainya. Bukan aku tidak berjuang untuk mendapatkannya. Aku sudah melakukan apa yang aku bisa, tapi sepertinya usahaku gagal. Kini aku menyerah”.

“Ayo Fania. Siapakah cowok itu?, hanya cowok bodoh yang tidak mencintaimu.” Ucapku.
Fania menatapku, ada butiran kristal yang dia tahan supaya tidak jatuh keluar.
“Kita sahabat Haikal, kita bukan satu jiwa. Kita tetap punya privasi yang tidak bisa semua aku bercerita kepadamu. Pahamilah itu.”
“Kalau begitu aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik Haikal”, aku menyanyangimu”. Faniapun berlalu menyudahi pertemuan itu.

Keesokan harinya aku pergi ke rumah Bunga. Setelah berputar-putar mencari alamatnya, akhirnya ketemu juga rumah yang aku cari.
“Silahkan duduk Haikal”, ngapain kamu kesini?”, tanya Bunga.
“Aku kesini mau ngomongin sesuatu?”, Ucapku.
” Aku juga mau ngomong sesuatu Haikal”.
“Aku mau ngomong tentang Fania”.
“Kami sahabat” jawabku.

Komentar
1
2
3
Artikulli paraprakMemeluk Leuser
Artikulli tjetërLanal Simeulue dan KBSG Bangun Rumah Anak Yatim Piatu