Delapan Tahun Kuala Beuracan Dangkal, Nelayan di Pijay Kesulitan Melaut

Boat nelayan terlihat bersandar karena tidak bisa melaut akibat pendangkalan di Kauala Beuracan (Foto: Teuku Satria)

Analisaaceh.com, Meureudu | Sejumlah nelayan di Gampong Rhieng Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya mengeluh karena kesulitan melaut akibat terjadinya pendangkalan di Kuala Beuracan.

Permasalahan ini bahkan telah terjadi selama delapan tahun tanpa adanya solusi dari pemerintah setempat.

Hal tersebut diungkapkan Keuchik Rhieng Krueng, Syakban Ahmad kepada analisaaceh.com, Jum’at (13/11/2020).

“Kondisi ini terjadi sejak delapan tahun yang lalu, akibat dangkalnya kuala Beuracan nelayan tidak dapat melaut pada saat air sedang surut, jadi sering boat nelayan tersangkut di pintu kuala,” katanya.

Kuala Beuracan tersebut, sambung Keuchik, merupakan satu-satunya akses para nelayan untuk keluar dan masuk untuk melaut. “Kuala ini merupakan satu-satunya jalur nelayan keluar masuk untuk melaut yang berjarak sekitar 500 meter,” ungkapnya.

Bahkan, menurut pengakuannya, selama ini para nelayan harus merubah jadwal melaut dari waktu biasanya. Mereka harus berangkat tengah malam serta kembali saat air sedang pasang.

“Sekarang nelayan harus merubah jadwal melaut dari kebiasaan berangkat setelah shalat subuh dan sekarang harus melaut sekira pukul 01.00 WIB dini hari serta sebaliknya jika pulang nelyan juga menunggu air pasang,” ungkapnya.

Lebih lanjut Syakban menjelaskan, bahwa terdapat 200 boat nelayan yang setiap hari keluar – masuk melalui kuala Beuracan, mereka bukan hanya dari Gampong Rhieng Krueng, namun juga dari Gampong lainnya seperti Gampong Rhieng Blang, Rheing Mancang, Teupin Puraho, Pangwa Dayah dan Cot Lheu Reng.

Akibat ratusan nelayan kesulitan melaut tersebut turut berdampak pada ekonomi masyarakat. Sebab kata Syakban, sebagian besar masyarakat di wilayah setempat menggantungkan hidup dari hasil melaut.

“Kondisi ekonomi nelayan sangat terpuruk akibat tidak dapat beraktivitas melaut sebagai pendapatan utama warga kami,” ungkap Syakban.

Terkait masalah ini, pihak pemerintah Kabupaten Pidie Jaya dan Provinsi Aceh telah melakukan bebarapa kali survey atau peninjauan terkait kondisi muara, namun hingga saat ini belum ada realisasi untuk menjawab persoalan itu.

Syakban berharap, pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh dapat melihat dampak dari pendangkalan muara Kuala Beuracan itu. Karena pihaknya mengaku tidak tahu harus mengadu atau memberi informasi kemana agar persoalan nelayan dapat diatasi.

“Semoga pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh dapat turun melihat kondisi ini karena dampak dari pendangkalan muara kuala Beuracan ini sangat mempengaruhi ekonomi nelayan kami,” harap Keuchik Syakban.

Hal senada juga disampaikan oleh Tgk Amiruddin Aziz, salah satu nelayan di daerah setempat, bahwa dampak pendangkalan itu telah ia rasakan bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian meskipun telah berulang kali disampaikan masyarakat kepada pemerintah.

Menurutnya, jika muara Kauala Beuracan dilakukan pengerukan dan ditambah pemecah ombak menggunakan batu gajah persoalan tersebut akan terselesaikan.

“Jika pemerintah melakukan pengerukan dan penyedotan pasir di muara Kuala Beuracan ini, saya yakin persoalan selama delapan tahun ini dapat diatasi serta ditambah dengan batu gajah sebagai pemecah ombak,” imbuh Tgk Amiruddin.

Editor : Nafrizal
Rubrik : NEWS
Komentar
Artikulli paraprak319 Pejabat di Lingkungan Pemerintah Aceh Dilantik
Artikulli tjetërUpdate Covid-19 Aceh: Positif Bertambah 45 Kasus, 25 Orang Sembuh