Della Faim Silhoutte

“Kalau aku mati, kau tak akan pernah tahu apa-apa tentang Della Faim,” suara Aldrich terdengar sebelum aku sempat membuka pintu.

Aku terdiam. Memaling. Tapi, tidak, dia tidak lagi di sana. Dia menghilang, tubuh itu, dan suara-suara itu telah hilang.

***

Sinar matahari di luar meredup, petang turun dan semakin redup. Mencoba mempercayai penglihatanku, aku kembali menggigil. Aku berlari, keluar dan tak kembali ke rumah. Kususuri jalanan depan Della Faim yang sisa-sisanya berwarna hitam. Sebuah bangunan puluhan lantai menyita pandanganku. Tak lama aku ada di antara tangga dan tangga lalu di salah satu kamarnya. Pintunya tak terkunci, terkuak seukuran tubuh mungil orang dewasa. Aku membukanya sedikit lebih lebar dan melangkah ke sana. Hanya ruang lebar dan bebarapa jendela kaca besar menghadap Della Faim. Ini kamar yang sama yang diceritakan Aldrich, ruang kosong yang sudutnya tegak lurus pada Della Faim. Dari sini hantu Franc bisa terlihat jelas. Meski itu hanya cerita bohong, sayang aku tak punya kesempatan untuk membuktikan, bangunan itu tak ada lagi di sana, telah rata dengan tanah. Entah mengapa naluriku begitu kuat untuk ke mari. Langkahku seakan didorong keinginan penuh rahasia. Aku yakin, akan ada jawaban di sini.

Aku berdiri lama di depan jendela. Sungguh tempat ini menyediakan point of view yang sangat cocok untuk memantau. Matahari bersinar dari belakang bangunan. Jadi, tak akan menghalangi mata menembus jendela dan mengelana jauh ke depan. Aku melihat reruntuhan Della Faim. Aku melihat jalanan yang dilalulalangi orang-orang. Aku melihat restoran seafood sederhana itu. Aku melihat bangunan bungalow yang hampir selesai, juga melihat rumah bercat biru muda dan beratap biru terang; rumahku. Jendela-jendela lebar dari kamarku yang dihalangi tembok, terpampang dengan jelas dari sini. Dengan kata lain, apapun yang aku lakukan, sudah pasti terlihat jelas dari sini. Aku penasaran jika ada orang yang mengamatiku dari sini. Tapi siapa? Tidak ada siapa pun yang tinggal di sini. Kamar ini terlihat tak berpenghuni. Terkecuali, si penguntit hantu Franc? Ah, omong kosong!

Seseorang berhenti di pintu, dia tersenyum.

“Mencariku hingga kemari?”

Aku kenal suara itu. Pelayan restoran dengan sudut mata ketus. Aku mengamatinya; seluruh tubuhnya ditutupi tanpa celah. Aku biasa mengingatnya dalam rok selutut dan celemek berenda.

“Kau yang biasanya menguntitku!” kataku asal tuduh.

Dia tidak sakit hati, malah tertawa. Dia mendekat. Beberapa jengkal dariku, aku dapat melihat jelas matanya. Matanya cacat, dia memakai lensa kontak untuk menutupinya. Itu sebabnya aku hanya bisa menandainya dari kejauhan. Mata biru gelap atau hijau tua yang menyorot dengan rakus. Dia berpaling.

“Kau yang membuat aku begini!” katanya penuh kemarahan. Dia mencengkeram bahuku.

“Aku bisa saja melemparmu dari sini. Orang-orang akan mengiramu bunuh diri! Tapi tidak, aku akan membiarkanmu menghabiskan penyesalan, Pembunuh!” makinya.

Tubuhku bergetar. Bagaimana dia bisa tahu aku telah membunuh orang? Rasanya, kejadian di kantor hanya aku dan Aldrich yang tahu!

“Kau yang membunuh Aldrich!” teriak perempuan itu histeris.

Tubuhku mengejang. Bagaimana bisa dia melontar kata sepasti begitu? Aku bahkan tidak yakin bila Aldrich telah mati kena serpihan beling di dalam rumahku. Aku baru saja meninggalkannya beberapa menit yang lalu, dan perempuan ini tahu semuanya? Dia pasti gila!

“Kau membunuh Aldrich! Aku tahu itu!” Dia berteriak-teriak tanpa kendali.

“Aku tidak sengaja! Aku hanya berlindung. Dia ingin menyakitiku!” ujarku tegas.

Tapi gadis itu semakin mengamuk. Diacung-acungkannya telunjuknya ke mukaku. Dia semakin mendekat, dan aku berusaha menjauhi jendela. Aku takut kata-katanya menjadi kenyataan dan dia benar-benar membuatku melayang dari jendela.

“Melindungi dirimu dari semua laki-laki yang kau rayu dan kencani, dasar pelacur!”

Kudorong tubuhku menjauhi kemarahannya. Dia terus membuntuti gerakku. Kata-kata pelacur begitu lancar mengalir dari mulutnya. Dia gila! Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menunggunya reda.

“Kau selalu datang ke sana, merayu setiap pengunjung laki-laki, lalu kau jatuh cinta pada Aldrich-ku, dan kau ingin menyembunyikan diri dan kebusukanmu karena setiap orang mengenalmu di sana. Maka, kau lenyapkan tempat itu, kau membakarnya! Tapi, kau tidak tahu, malam itu Aldrich mengunjungiku. Dia ada di sana, meminta putus dariku, karenamu! Dan, kau ikut membunuhnya karena dia ada di sana. Dia di sana bersamaku!”

Penjelasannya begitu tak masuk akal bagiku.

“Polisi bilang kau beruntung terlempar keluar dan selamat dari api. Tapi aku yakin, kaulah yang membakar Della Faim dan membunuh kekasihku!” Dia menangis terisak-isak.

“Hei…,” ucapku. Kucoba sentuh bahunya. Tapi dia menepisku dengan kuat.

“Aku baru saja bersama Aldrich. Kau tak percaya? Lihatlah dia di rumahku. Dia masih di sana ketika kutinggalkan. Dia masih bernapas.”

“Kau gila, Flora!” Perempuan itu menatapku masih penuh amarah. “Sejak tahu Aldrich ikut mati dalam kebakaran itu, kau jadi gila. Kau minum obat-obat aneh dari wastafel. Dan, rumahmu kadang penuh dengan orang-orang yang mendiamkan teriakan-teriakanmu. Kau duduk berjam-jam di bangku taman Della Faim seolah sedang minum kopi setiap sore!” jelasnya, membuatku ternganga.

“Sejak Aldrich mati kau berubah gila, Flora! Itu hukuman untukmu! Lebih dari penjara!” pekiknya lagi.

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia