Della Faim Silhoutte

“Kau bukan penulis, kau bukan kolumnis di koran manapun. Kau hanya perempuan kaya yang menghabiskan uang dan hidupmu menjadi pelacur di tiap restoran!”

Aku terkejut, saat itulah aku menamparnya dengan keras. Aku mendengus marah, berdiri demikian tegak. Kurasakan dadaku remuk dan semakin tak terkendali. Kupukul dia lagi, menamparnya berkali-kali. Aku berubah histeris. Meronta dan terus memukulinya. Ketika aku jauh darinya, kulempar ia dengan benda apa saja yang ada di sekitarku; kaleng-kaleng cat kosong dan kayu-kayu kecil kusen pintu yang baru akan dibuat.

Perempuan itu tidak membalas. Tidak balik marah, dia hanya menangis, menangis dan menangis. Dia bahkan tidak berusaha melindungi tubuh atau wajahnya yang menjadi sasaran kemarahan tamparanku.

Hingga aku menarik baju dingin panjangnya, baru aku terdiam kaku. Tubuhnya penuh luka bakar; tangan, kaki, serta pipi dan sebagian kepalanya. Aku berteriak lagi, dengan suara yang tertahan, nyaris tak terdengar. Segera aku keluar dari sana. Tubuhku jatuh dan bergulir di anak tangga. Hingga saat kepalaku terbentur tembok tangga paling akhir, barulah tubuhku berhenti. Aku bangkit dan melarikan diri dari sana.

Percayakah kau? Aku mengamuk, memecahkan isi rumahku, menancapkan beling ke dan mengarang cerita bohong, mengembuskannya ke alam sadarku dan memulai halusinasi yang sempurna. Butir-butir aspirin tentu ampuh menjadi bukti sakitnya kepalaku, tapi tidak jiwaku. Aku tidak percaya dengan hantu, takdir yang dipaksakan atau reinkarnasi. Aku tidak percaya hal-hal seperti itu akan menjadi bagian dari duniaku. Aku mengalaminya, tapi aku masih bisa lega karena itu bukan berasal dari hal-hal yang tidak aku yakini, melainkan permainan dari dalam alam bawah sadarku. Aku menyimpannya rapat, untuk diriku sendiri.

***

Hari ini, aku duduk di sebuah kursi taman yang tersisa di antara puing-puing Della Faim. Kafe itu terbakar berbulan-bulan lalu. Sepasang mata itu masih ada di sana, di salah satu jendela rumah susun yang menghadap tepat di balkon Della Faim. Sepasang mata yang memandangiku penuh curiga. Dia tetap percaya, aku ada di sana di malam terbakarnya Della Faim, membocorkan tabung gas dan meledakkan kafe itu, membunuh puluhan orang termasuk kekasihku, hemmm…. Maksudku, kekasihnya. Berharap dan terus berharap suatu hari dia akan mampu membuktikan, akulah pelakunya. Teka-teki itu akan kubantu pecahkan. Kumulai dengan namaku Chloe, bukan Flora. Dan, maaf, aku benci nama itu.

*Karena setiap kita punya rahasia

Watch the sunrise, say your goodbyes, off we go, some conversation, no contemplation hit the road, I know I don’t know you, but I want you so bad, everyone has a secret, but can they keep it…oh, no they can’t … (Secret, Maroon 5)

Teunom, Aceh, 2007

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia