Della Faim Silhoutte

***

Aku kedinginan, menggigil. Gemeretuk gigiku terdengar begitu parah. Sirene kebakaran sahut-sahutan di belakangku. Hujan memperparah suasana. Menenggelamkan tangisku yang pecah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dalam pekat malam, seseorang menyambut tubuhku yang tak lagi bertenaga.

“Adam Levine…,” sebutku pada sesosok tubuh tempatku mendarat dalam gendongannya.

“Aku Aldrich, A-L-D-R-I-C-H,” sungutnya dengan suaranya yang tetap saja lembut.

Kepalaku tergolek di dadanya. Aldrich masih mengocehkan sesuatu, sedang telingaku terlalu lelah untuk menangkap suara. Dibawanya aku pergi dengan irama langkah yang teratur menjauh.

***

Kusambut dengan gerak bola mata melihati dagunya, mulutnya, hidungnya, pelipisnya, dan terakhir matanya. Dibenahinya anak rambutku pelan-pelan, menyangkutnya dengan rapi di balik telingaku.

“Ke mana bajuku?” tanyaku.

“Baju apa?” Aldrich balik bertanya.

“Yang penuh darah,” jawabku ragu-ragu.

“Apa yang kau bicarakan? Baju apa? Darah apa?” Lagi-lagi aku diserang pertanyaan.

“Aku sudah siapkan air hangat untukmu mandi.” Aldrich menuntunku menuju bathup. Di sana, aku meringkuk. Walaupun air terasa hangat, tapi tubuhku tetap saja menggigil.

“Aku membunuhnya, Aldrich,” kataku terbata.

“Kau bicara apa?”

“Dia, laki-laki itu kubunuh. Dengan pulpen, dengan tanganku ini!” Kutunjukkan tanganku pada Aldrich.

Dia diam mematung. Lalu melanjutkan kembali kesibukannya menuangkan sabun cair beraroma. Aku benar-benar bingung bagaimana dia tampak tenang-tenang saja.

“Kantor itu terbakar begitu saja, sama seperti Della Faim. Sudah dua kali aku hampir mati!”

“Kau ini! Sudah, mandilah dulu. Kutinggalkan kau di sini. Panggil aku kalau sudah selesai. Ya, Tuhan, tubuhmu, sudah berapa lama kau tak makan?” Aldrich bicara seolah ia ibuku.

“Kemana kau menghilang waktu itu?”

Aldrich terdiam tepat di depan pintu kamar mandi. Dia membelakangiku.

“Della Faim terbakar, kita bisa saja mati di sana!” Aku berteriak. Seolah Aldrich begitu jauhnya. Aku ingin dia mendengarku. Benakku yang seakan siap meledak.

Aldrich mendekatiku. Bukan untuk mendengarku. Diraihnya sponge berwarna kuning telur, membalurnya dengan sabun hingga berbusa dan mulai mencoba menggosok lenganku.

“Kau tidak akan berhenti meracau, kan?”

“Meracau? Kita berdua hampir mati di sana, dan kau bilang aku meracau?” tanyaku.

Aldrich tetap tak peduli. Dia sibuk, seolah menyabuniku adalah pekerjaan profesionalnya.

“Oh, tidak, kita sudah nyaris mati saat terjatuh tapi terhalang pembatas tembok. Aku tak mampu berhenti memikirkan itu.”

Dengan malas Aldrich memaling ke arahku. Dia bangkit, mengambil handuk, baju, membantuku mengenakannya. Pelan digenggamnya bahuku lama. Tangannya tak kalah harum dengan wangi krim mandiku.

“Di malam itu, kita bisa saja mati!” kataku lagi dengan penuh keyakinan.

“Di malam kebakaran itu kamu tidak ada di sana. Aku yang ada di sana,” timpalnya.

“Tidak mungkin! Kita di sana, di balkon! Tempat Franch minum bercangkir-cangkir kopi  di sana! Kamu ingat?” tanyaku lagi.

“Itu karanganku saja. Tidak ada Franc, tidak ada cerita tentang hantu,” Sambut Aldrich dingin.

“Ya sudah, maksudku hanya, kita ada di sana di hari yang sama dengan Della Faim terbakar,” kataku memastikan.

“Ya, ya, lalu apa istimewanya?” tanya Aldrich.

Aku tercenung. Ya, apa istimewanya? Aku pun tidak mengerti. Satu-satunya yang aku pikirkan adalah aku tak bisa berhenti memikirkannya.

“Aku rindu padamu…” Tiba-tiba suara Aldrich berat, seolah menyimpan beban jutaan ton dan mendaratkannya di pipiku, wajahku.

Aku mengelak, gagal, dan mengelak lagi. Apa yang sedang dilakukannya? Menciumku? Aku berdiri, begitu marah dengan kekurangajarannya. Tapi, sebelum aku sempat mengeluarkan suara untuk mengusirnya pergi, dia lebih dulu menancapkan pandangannya dalam bahana yang melebihi amarahku. Wajahnya tegak di atas kepalaku. Dia menghindariku beberapa jarak lalu mendekat lagi.

“Mengapa kau selalu begini terhadapku, Flora?”

“Flora?” tanyaku bingung.

“Ya, Flora, namamu.  Atau…, kau juga berbohong padaku tentang namamu?” Laki-laki itu menahan geram.

Aku bisa mendengar retakan kekesalan dari nadanya. Sementara aku tenggelam dalam pikiran sendiri; bagaimana mungkin seorang aku bernama Flora. Orang bodoh mana yang telah memaksaku memakai nama seperti itu? Benar-benar tidak sesuai dengan… arrrggghhh…! Tidak sesuai dengan… karakter yang aku harap ada di diriku. Nama itu terdengar…, begitu lemah.

Dia terlihat resah, mondar-mandir. Lalu balik lagi kepadaku.

“Kenapa selalu memperlakukan aku begini?!” tanyanya ketus. “Aku sudah melakukan semuanya untukmu. Semuanya! Aku membakar Della Faim untukmu! Juga kantor bodoh itu!” teriaknya.

Aku terperanjat. Rasa terkejut membuatku melangkah surut tanpa kusadari. Dia mendekatiku lagi. Rasanya aku ingin segera meleleh menembus lantai.

“Kau selalu melupakan aku, mengabaikan aku. Tak adakah rasamu untukku, meski sedikit saja?” Aldrich bicara dengan intonasi naik turun, menahan keresahan.

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia