Della Faim Silhoutte

Perempuan di dekat kasir itu punya potensi besar untuk memenangkan adu ledak ini. Bibirnya begitu tebal, mulut mungilnya tak henti-hentinya terbuka; dia berbicara dengan ceriwisnya pada seorang anak kecil. Melihat tubuhnya yang begitu gemuk berbalut beludru merah muda, aku semakin yakin dia calon yang tepat. Aku tak bisa membayangkan, jika tiba-tiba dia menyadari, seluruh sisa oksigen telah dihabiskannya untuk berbicara pada seorang bocah. Lalu matanya mulai memerah, bagian tubuh pertama yang akan menegang adalah lehernya yang terbalut syal yang juga merah muda.

Kubayangkan syalnya akan terdesak menegang, tak lagi menyisakan ruang untuk lehernya lebih membesar. Dan, itulah saatnya tubuhnya menggelembung bak bola raksasa; semua akseorisnya terlepas, gelangnya, kalung mutiaranya (yang aku yakin imitasi), pokoknya semua yang menghalangi tubuhnya menggelembung akan terlepas. Lalu, dia mulai menjerit dengan suara tercekik menyadari tubuhnya mulai meninggalkan lantai. Aku cekikan. Astaga! Meski telah berusaha demikian keras, tetap saja nada tawa kecilku keluar tak terkontrol.

“Permisi…” Suara itu menghentikan intermezo lamunanku.

Meski sangat kesal karena telah merusak “kesenanganku”, aku menoleh. Belum sempat aku menjawab, dia sudah meletakkan segelas besar cappucino-nya di atas mejaku. Dia menarik kursi dan duduk di sebelahku. Saat itu, aku baru menyadari, entah sejak kapan, dua orang remaja dengan kaos putih dan topi kupluk telah mengisi dua bangku yang semula kosong di depanku. Oh, aku tak peduli: selama dia tidak menggangguku, ucapku yang tentu saja dalam hati. Tapi, apa boleh buat, laki-laki ini terus memaksa untuk berbagi kata denganku. Dari mulai menanyakan waktu (laki-laki tanpa jam tangan tak bisa dipercaya!), menanyakan di mana aku membeli Cosmopolitan, majalah yang tertelengkup di balik lenganku, mengomentari sepatu kets-ku yang katanya lucu, hingga cat kukuku yang menarik perhatiannya. Aggghhhrrr…!

Akhirnya “usahanya” membuatku bicara mulai sedikit “sukses” ketika This Love milik Maroon 5 membahana. Dia mengomentari, dan aku tak bisa menghentikan telinga untuk mendengarnya bicara. Aku suka sekali lagu apa pun yang dinyanyikan kelompok musik asal California ini. Sedikit bergidik, kusadari, makhluk di sampingku ini ternyata serupa Aldrich Levine, sang vokalis, kecuali warna matanya (yang sempat beberapa kali kutatap) dan rambutnya yang legam, beda. Dan, kenyataannya, dia hanya pribumi tulen. Aku tak menyangka dia akan bereaksi dengan mengentak pelan anggukan kepalanya mengimbangi irama. Dia mulai menyebutkan nama vokalis, drummer, leadguitar hingga nama manajernya. Can you believe it?

Aku terbelalak. Dia gila! Aku sangat cinta Maroon 5. Aku akan menciumnya jika dia punya lagu favorit yang sama denganku. Astaga! Dia menyebut Secret! Aku tertawa demikian keras, menertawakan kebodohan sumpahku seraya memastikan aku tidak akan senekat itu menciumnya. Dia lalu menyangkaku kesambet! Setelah kukatakan mengapa, akhirnya dia ikut “kesambet”, tertawa lepas dan ceria, mulai bermimpi ada di salah satu konser di California.

Ketika lagu harder to breathe versi fully plug mengalun, kami sudah di lantai dua. Beberapa menit lalu, dia menarik lengan sweater-ku pelan dan mengajakku yang bergerak enggan ke “ruang rahasia”nya. Aku pikir apa, ternyata hanya balkon dua kali dua meter, yang di salah satu sudutnya ada loudspeaker mungil. Semua suara dari bawah terdengar bagai sengau aneh, termasuk lagu yang masih mengalun.

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia