Della Faim Silhoutte

Hujan membludak dari langit. Dengan jeans yang basah dari lutut ke bawah, setengah berlari aku menyerbu pintu kaca kafe mungil Della Faim, meninggalkan jejak-jejak sepatu kets-ku di lantai.

Tak ada yang terlalu istimewa dengan kafe yang namanya berbahasa Perancis itu. Kalau tidak salah, artinya ada hubungannya dengan rasa lapar, bahasa Italia dan Perancis yang digodok jadi satu. Ini hanya kafe biasa, tempat orang minum kopi dan makan camilan.

Telapak tanganku yang berkerut lembab kutempelkan di sisi gelas berukuran tanggung. Wadah tempat kopi yang panas, yang asapnya hingga mengepul itu dituang oleh pelayan yang menatapku dengan pandangan ketus.

Apa yang dipikirkan gadis itu? Pelayan paruh waktu yang  paginya masih berkutat dengan buku-buku kuliah di gendongan lengannya yang putih pucat. Kenapa dia harus memandangi aku begitu “takjub”? Apa seorang gadis di usia pertengahan dua puluhan, yang berkeliaran sendirian dengan nyaris basah kuyup ini terlalu mengundang rasa heran? Apa dia tidak yakin aku mampu membayar kopi pahit yang baru diantarnya? Aku hanya sedikit “kusut” hari ini. Jika benar dia dia ragu karena penampilanku, ATM dan Kartu Kredit-ku ada di salah kantong jeans, tahu! Dan, kuyakin itu cukup untuk membayar seluruh pesanan kopi hari ini.

Sementara dia—pelayan dengan ekor mata yang terlahir ketus itu—membelakangiku, aku mendengus pelan. Hidungku berhenti bernapas beberapa saat, sekadar merasakan hangat yang menjalari telapak tangan. Rambutku yang tersiram hujan, masih meneteskan air ke meja. Setelah menguasai benar diriku, aku baru menyadari, ruangan ini penuh sesak dengan orang-orang, yang seolah-olah akan meledak karena kekurangan oksigen. Mungkin musim hujan membuat pengunjung membludak. Kapasitas ruangan ini sudah terlampaui. Untung aku bisa menahan napas setidaknya satu menit. Jadi, seandainya oksigen ruangan ini benar-benar habis, aku akan jadi orang pertama yang mampu melangkah keluar dan selamat, pikirku melantur.

Bagaimanapun, memikirkan orang-orang di sekelilingku benar-benar meledak membuat perutku geli sendiri. Aku mulai mengitari setiap sudut, mencari-cari siapa yang akan lebih dulu meninggalkan peradapan 2000-an akibat kalah rebutan napas di ruangan ini.

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia