Della Faim Silhoutte

Lepas hari itu, aku mengunci diri di kamar. Tidak makan, minum atau apa pun. Sesekali aku keluar menuju wastafel di dapur, mengambil beberapa butir aspirin, menegak dan tertidur kembali. Ada kalanya juga kubenamkan tubuhku ke dalam bathup, hingga kepalaku. Aku diam dan menunggu hingga paru-paruku terasa mengembang dan aku benar-benar tak lagi kuat untuk tak bernapas. Lalu aku berontak, mengentakkan tubuhku dan menangis sekuatnya, dengan mulut yang terkunci. Hingga suatu hari, aku merasa sembuh. Aku bangkit, berpakaian dan merias wajah dengan eye shadow cokelat muda. Tapi, di pagar rumah, kudapati sepasang mata itu mengacung-acungkan tusukan matanya ke arahku. Aku menggigil ketakutan dan kembali meringkuk di balik pintu.

Telepon berdering. Kuangkat, tapi ketika aku akan mengatakan halo, suaraku menghilang. Tak keluar sedikit pun. Kuletakkan kembali gagang  telepon itu. Aku harus keluar dari sini. Itu keputusanku. Rumah, kamar, dapur, kamar mandi bukan tempat untukku menyelesaikan masalah. Sudah satu minggu, aku harus keluar, menimpakan cahaya matahari ke kulitku. Tanpa ingin berpikir sedetik pun lagi, kutekan gagang pintu dan dengan lugas, aku telah berada di balik pagar. Matahari menyengat. Kulit mukaku terasa sakit. Mataku memicing. Anehnya aku merasa dingin. Lututku gemetar. Untuk pertama kalinya, setelah satu minggu aku mulai merasa lapar.

Sepatu putih tanpa hakku melaju ringan. Kupeluk lengan, mencoba meredakan perih di perut. Tangan panjang bajuku tersingkap, ada lebam-lebam di sana. Kualihkan pandangan, kembali berjalan. Ketika pintu kaca restoran seafood itu kudorong, beberapa pasang mata menoleh sesaat ke arahku. Satu meja masih tersisa, aku duduk sambil menahan gemetar. Pelayan menghampiriku, menanyakan wajahku yang begitu pucat. Aku hanya menggangguk. Bukan tak ingin menjawab atau sekadar tersenyum, tapi aku tak mampu, betul-betul tak mampu.

Pandanganku terpaku pada serbet putih di atas meja. Kutegakkan kepala 45 derajat dan yang kuingat hanyalah laki-laki dengan kemeja yang tangannya digulung mendekati siku. Darahku serasa mendidih. Mungkin dia juga akan tiba di sini. Tiba-tiba aku merasa marah. Bicarakah dia? Bicarakah dia saat meninggalkan aku di salah satu ruang temaram di lantai dua bangunan yang sama ini? Apa yang dilakukannya pada makan siangku itu? Ikut memasukkan bill-nya ke dalam tagihan kartu kreditnya? Sebuah penghinaan luar biasa, rutukku.

Sekilas mulutnya yang tengah mengenyam irisan tomat ikan salmon mengentak pikiranku. Aku merasa muak dan jijik. Tubuhku semakin kuat mengentak dalam getaran. Serasa akan mati membeku, ketika semangkok sup ikanku sampai di meja. Kucoba nikmati, tapi bibirku begitu sakit dan berdarah. Aku ingin menangis, tapi tenagaku serasa terkuras habis. Aku sudah tidak makan apapun kecuali aspirin dan air putih dari keran wastafel selama satu minggu.

***

“Hei, kau!” Aku berteriak setengah sadar.

Laki-laki dengan lengan digulung ke siku itu menoleh ke arahku. Suasana begitu sepi. Jam kantor sepertinya telah berlalu lama. Hanya ada aku dan dia. Entah bagaimana aku bisa sampai di sini. Kaki dan penggalan kalimat-kalimat obrolan kami beberapa malam lalu itu yang menuntunku.

“Kau masih ingat aku?” Bibirnya menyeringai. Tubuhnya mendekatiku. Kupandangi rambutnya yang kusut, dasinya yang terbengkalai, bertengger dengan longgar di lehernya. Dan, semakin dia mendekatiku, semakin terperangkap aku dalam aroma tubuhnya yang khas. Bagaimana aku bisa lupa?

Memoriku berkabut. Sejenak aku di luar ruangan, saat lain aku sudah di atas meja kerjanya, dalam ruang yang tertutup rapat, dan pinggangku yang ditahan rengkuhannya. Sesaat aku menikmati ciumannya. Tapi, di waktu lain aku begitu marah. Ketika dagunya menyentuh punggungku, aku mengerang penuh amarah. Kudorong tubuhnya menjauh, menyisakan bekas luka cakar di dadanya. Dia mendekat kembali dan menamparku begitu keras. Mulutku dibungkam telapak tangannya, sedang sebelah lengannya yang lain menohok bahuku untuk tetap bertahan pada meja kerjanya yang berantakan. Aku meronta-ronta, dengan mulut terbungkam dan pundak yang sakit menahan beban tubuhnya.

Sebelah tanganku lepas dan mencoba meraih apa saja yang kupikir dapat menolongku. Tapi yang dapat kuraih hanya pulpen besi. Kutancapkan dengan sekuat tenaga ke lehernya. Lelaki itu memberontak. Tubuhnya menekanku lebih kuat, tak diizinkannya aku menjauh. Dia menarik pulpen itu dari lehernya. Darah memuncrat ke segala penjuru. Aku berteriak histeris. Kali ini tanpa tangannya yang mencoba menutupi mulutku. Darah itu, merah gelap, terasa asin, bercipratan membasahi wajah dan pakaianku yang terbuka paksa.

Alih-alih menjauhiku, lelaki itu melingkari leherku dengan genggaman tangannya yang kekar. Aku tak bisa bernapas. Tepat ketika kupikir aku telah mati, genggaman itu mengendur perlahan. Aku terdiam masih dalam tindihan tubuhnya. Syok! Gelap membayangi. Temaram lampu meja kerja yang telah jatuh ke lantai memantul-mantul di langit-langit ruangan. Kupejamkan mata. Terlelap dalam dekapan tubuhnya yang basah oleh darah….

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia