Della Faim Silhoutte

Beberapa pengunjung mulai terganggu dengan obrolan kami. “Tapi, yang dibunuh laki-laki, kok. Jadi, kamu tenang saja,” lanjutnya.

Kuangkat bahuku. Berharap dia segera pergi. Tapi, dia tetap tak bergeming.

Kini, kotak pandanganku terpaksa bertumpu padanya. Pada laki-laki yang tak kukenal dan tak ingin kukenal. Dilihatinya aku dengan penuh sabar. Saat lain, aku yang jadi kebingungan sendiri. Aku tak mengerti apa yang membuatnya tetap bertahan di mejaku setelah “kuusir” tanpa sedikit pun pertimbangan.

“Aku akan makan di sini, dan tak akan mengajakmu bicara sedikit pun, okay!” Kata-katanya membuatku terbelalak. Tapi, dia sudah tidak lagi melihatku. Dia sibuk dengan makan siangnya yang baru dihidangkan pelayan di depannya. Ikan salmon panggang dan irisan tomat besar-besar.

Janjinya untuk tidak bicara ternyata hanya isapan jempol. Sepanjang waktu dia terus mengobrol dengan dirinya sendiri. Dia bicara banyak hal—lebih banyak berupa keluhan di kantornya—kalau tidak salah sebuah perusahaan ternama, aku tak begitu jelas mendengar, yang pasti lokasinya dekat dari sini makanya dia lebih sering makan siang di restoran ini.

Omongannya akhirnya ngelantur, mengatakan istrinya mengatur keuangannya demikian ketat. Bukanlah hal yang begitu menarik untuk dibicarakan. Tapi, ketika dia menyebut kata istri, saat itu kuluruskan perhatian pada lekuk mulutnya yang bicara seraya menyantap irisan tomat, lalu ke hidungnya yang bangir dan ke alisnya yang berat dan menawan. Ya, dia tampan, mungkin di akhir dua puluhan, dengan padu padan pakaian yang serasi dan enerjik, dia memang menarik dan matang, wajar memiliki istri, bentuk lain dari keseimbangan, pikirku. Tanpa sadar, aku tersenyum.  Saat itulah matanya menangkap sudut bibirku.

Aku tidak ingat apa yang terjadi berikutnya. Tubuhku terasa begitu dingin, gerayangan sentuhan membuatku tak mampu berkata-kata. Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Aku tak mampu mengendalikan apapun, termasuk letupan liar yang meledak-ledak di tiap jengkal permukaan kulitku. Mataku tak mampu terbuka. Samar-samar terdengar seseorang memanggilku, berbisik di telinga, dengan sesuatu yang kuyakini lengan dan jemari, lalu bahu dan seluruhnya membuatku menghangat. Aku tak bergerak. Tak mampu.

Ketika mataku terbuka, yang kulihat adalah timpaan sinar lampu pijar temaram, siluet seseorang berlalu. Yang kutangkap hanya kemeja berjuntai dengan lengan digulung menghampiri siku. Kepalaku berat, seolah rambutku mendadak tumbuh memanjang menyentuh tumit. Aku tak mampu melihat lebih jauh, tidak pula mengekori perginya siluet itu. Pakaianku terletak sempurna di tubuhku. Ketika kubenahi lagi, kancing kerahnya jatuh, bergulir dan menghilang di balik sofa. Aku diam saja, meraih sweater-ku.

Aku pergi dari sana dalam bingung. Dan, tiba-tiba saja aku sudah menuruni tangga. Suara riuh bagai ngengat di telingaku. Ternyata aku tak pernah pergi jauh. Usai anak tangga terakhir, aku kembali berada di ruang restoran. Di balik pintu kaca, gerimis turun.

Komentar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Artikulli paraprakPanitia Zikir Akbar HUT RI ke 74 Cemas Abuya Syekh H. Amran Waly Tak Dapat Hadir
Artikulli tjetërWarisan Kolonialisme Dipandang Menjadi Salah Satu Ancaman Nasionalisme Indonesia