Dalam balutan tawa, dia yang ketampanannya semakin kuat memesona, bercerita: balkon ini sering dipakai Franc, sang pemilik kafe untuk diam-diam mengamati tingkah polah pengunjung kafe juga pelayan-pelayannya. Konon, ada kamera di tiap sudut ruangan yang terhubung ke TV kecil di balkon ini. Franc akan menghabiskan kue sus dan bercangkir-cangkir kopi di ruangan ini jika dia sedang malas melayani tamu.
Ketika kutanyakan, di mana dia sekarang, “sudah meninggal,” jawabnya enteng.
“Tapi, dia sering terlihat masih suka duduk di sini. Ada orang di salah satu kamar di rumah susun sana melihat arwah Franc minum kopi di balkon ini,” sambungnya seraya mengarahkan mataku ke bangunan batu puluhan lantai di seberang jalan.
“Orang Perancis yang kesepian.”
Kata-katanya, di luar sangkanya membuatku tertawa keras, malah lebih keras dibandingkan ketika aku dan dia masih di lantai bawah beberapa saat lalu. Aku tidak pernah percaya hal-hal gaib seperti itu. Tayangan cerita horor yang lalu lalang di layar kaca hingga sinema bagiku adalah pembodohan massal. Lucunya, laki-laki setampan ini memberiku cerita begini?
Aku tak bisa berhenti tertawa. Kini lebih kepada menertawakan wajahnya yang tidak matching dengan asupan otaknya. Tapi dia malah menatapku serius, begitu lama. Dia tidak bergeming, tidak juga ikut tertawa denganku seperti yang dilakukannya di bawah tadi. Dia tetap membisu, menusukkan pandangannya ke mukaku. Mulutku tak mampu lagi mempertahankan sudut tawaku. Mungkin aku harus memberi sedikit ruang “menghargai” pikirannya. Jadi, aku berhenti tertawa. Tapi anehnya, jelang beberapa saat kemudian, dialah yang tertawa. Sialan! Umpatku, membuatnya semakin puas menertawakan mukaku yang berubah tolol.
Tetapi, tawaku membuatku kehilangan keseimbangan. Tanpa sengaja aku menyenggol pot kaktus mungil di atas pembatas tembok. Pot tanah itu jatuh mulus tersedot gravitasi. Masih untung aku tak ikutan terjerembab. Tangan Aldrich Levine pribumi itu dengan sigap menangkap bahuku. Ya, meskipun hanya berhasil menarik yang molor, alih-alih aku tegak berdiri, tubuhnya meluncur mengikuti tubuhku yang tertahan beton sepinggang itu. Ya, pembatas tak seberapa itu menyelamatkan luncuran dua tubuh kami. Aku dan laki-laki setampan itu yang tubuhnya mulai merambatkan hangat di tubuhku. Tidak, kami tidak begitu rapatnya, hanya kaki yang beradu, yang salah satunya menginjak kakiku, terselematkan dengan sepatu kets keberuntungan. Dia cepat menarikku balik. Tapi telanjur, Harder to Breathe, dengan suara desahan napas vokalis latar di tengah telah mensugestiku terlalu jauh. Aku sudah terlanjur sulit bernapas.
***
Aku terbangun karena suara TV yang menyala otomatis. Dengan mata yang masih lima watt, samar kudengar, “Della Faim terbakar.”
Aku ternganga, migrainku mendadak kambuh. Aku berjalan mondar-mandir di kamar yang agak berantakan dengan bed cover bergumul di tempat tidur dan beberapa majalah di lantai. Cosmopolitan dengan sampul depannya yang keriting karena basah semalam tersandung langkahku. Di saat yang sama aku menyadari, aku masih dengan pakaian semalam, sweater dan jeans yang telah mengering.
Aku keluar kamar. Di ruang tengah masih temaram. Suara sirene membahana, meski sayup tapi aku tahu mereka berkumpul tidak jauh dari sini. Sirene yang bergantian, polisi dan ambulans. Riuh. Sibuk. Kusingkap gorden, tapi tak ada apa pun yang tertangkap mata. Letupan merah di langit terlihat bak kembang api raksasa. Ya, Della Faim terbakar, di malam yang sama dengan kehadiranku di sana.
Mata itu. Sepasang mata itu mengintaiku dengan rakus. Sebenarnya, terakhir kali aku merasa diperhatikan seperti ini adalah di Della Faim. Tapi, kehadiran laki-laki serupa Adam Levine Maroon 5 terlalu menyerap energi “rasa terganggu”ku. Jadi, aku tidak sungguh-sungguh peduli dengan keberadaannya. Setelah Kafe itu terbakar dengan penuh rahasia, restoran seafood pas di muka jalan menuju Della Faim menjadi tempat favoritku.
Diam-diam, aku yang benci amis ikan, mulai jatuh hati pada tuna yang dipanggang dengan minyak zaitun dan digarami seadanya. Aku menyantapnya dengan roti wholegrain. Dengan mata yang sama, makhluk itu menyerangku kembali. Membuat migrainku kumat lebih sering. Aku juga menjadi lebih sering mengaduh kesakitan tiap kali merasa terganggu. Seperti siang terik ini, kutinggalkan sushi tuna mentah dan berlari meninggalkan meja. Aku benar-benar tidak tahan. Dia mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tak peduli cuaca apa hari ini, baju apa yang kupakai dan bagaimana mood-ku, dia tetap ada. Aku masih bersyukur karena dia tak akan melampaui pagar besi rumahku. Begitu tubuhku tersembunyi di balik pintu, dia pun berhenti melangkah lebih jauh.
Warna apa matanya? Entah, kadang aku melihat biru gelap, kadang hijau tua. Tapi yang pasti tidak hitam legam. Tidak juga cokelat. Matanya berwarna dan begitu mencolok. Kadang ada rasa jijik padanya. Membuatku ingin melayangkan garpu atau sekalian pisau makanku ke arahnya. Tapi, pengunjung restoran selalu ramai. Aku bisa disangka gila jika melakukannya.