Didekatinya aku sekali lagi. Mendekati wajahku, mencoba melakukan lebih jauh lagi. Aku memaling. Aldrich tersinggung. Ia marah. Mengamuk. Menghabisi semua benda yang tegak di ruang tengahku dengan stick payung yang tergeletak di meja. Seketika semua lebur dalam retak yang terbang di lantai dan semua penjuru. Aku merasakan serpihan gelas kristal hias di atas bufet menyayat kulit lenganku. Tapi, aku tidak merasakan sakitnya.
Aldrich—lelaki yang selalu bersikap manis itu—hilang kendali. Kusumbat telinga kuat-kuat dan kututup mata rapat-rapat. Kubenamkan kepala dalam pangkuan lutut. Aku terduduk di lantai, menelengkup memeluk kepala. Ketika dia berhenti, saat suara-suara berhenti, aku merasakan tangannya menarik dua lenganku, memaksaku membuka tameng wajahku.
“Lupakan mereka…, lupakan semua yang pernah menyentuhmu. Aku milikmu…. hanya aku….” Aldrich bersuara penuh getir.
Apakah dia tahu bahwa aku tidak mengerti? Sedikit pun? Pasti telah terjadi kesalahan. Aku bukan Flora, aku bahkan tidak mengenal nama itu. Satu-satunya kali kesempatan aku bertemu pria di depanku ini adalah di satu sore di Della Faim, menghabiskan malam dalam senandung lagu-lagu Maroon 5. Mungkinkah terjadi sesuatu setelah Harder to Breathe mengentak?
“Kau sangat istimewa. Aku tahu itu sejak pertama kali melihatmu. Di setiap sore di Della Faim, kamu muncul dengan dirimu yang utuh, membawa setumpuk kertas atau buku, membaca atau menulis di sana, di sebuah meja di dekat jendela yang menghadap jalan. Aku memperhatikanmu di sudut. Seringnya kamu menggumam. Aku tahu kau menyanyi. Kau suka sekali menyanyi…,” ujarnya panjang. “Dan, yang tak aku mengerti, tanpa melakukan apapun, dirimu seperti magnet untuk setiap laki-laki di sana. Mereka senang menghampirimu, mengajakmu ngobrol. Satu dua ada yang menarik hatimu dan mengajakmu keluar dari Della Faim. Itu membuatku sangat cemburu….” Aldrich berhenti sejenak.
“Lalu apa yang terjadi?” Mulutku yang lama terkunci akhirnya bicara.
Dia tersenyum, terlihat antusias, membenahi duduknya dan menarik jemariku ke genggamannya.
“Lalu, tiba saatnya kau jatuh cinta padaku…” Aldrich berhenti bicara lagi. Kali ini lebih lama.
“Di malam Della Faim terbakar?” tanyaku tak sabar.
“Bisakah kau tidak mengungkit itu dulu? Kita bertemu jauh hari sebelum itu. Kau ini memang suka lupa!” Aldrich tertawa kecil. Seolah dia tidak pernah mengamuk, seolah barang-barang pecah di lantai bukan hasil karyanya. Dia tersenyum begitu manis. Ingin rasanya kutanyakan tentang kemungkinan kestabilan jiwanya.
“Aku tahu kau mencintaiku, Flora…,” ucapnya.
Aku bergidik setiap kali dia menyebut nama itu. Aku benar-benar tidak suka. Namun, aku lebih tidak suka lagi bila dia kembali mengamuk.
“Iya, kan?” tanyanya.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Kamu mencintaiku.”
Aku diam. Beberapa lama.
“Aku tidak tahu, aku tidak mengenalmu. Maksudku, aku tidak mengenalmu sedalam itu.”
Aldrich tertawa. Membuatku sangat ketakutan. Ditepuk-tepuknya tanganku sembari berkata, “Aku sudah janji, mencintaimu apa adanya. Selama kau tidak mengkhianati aku!” Suaranya kembali tinggi.
Aku merasakan bahaya mengancamku. Aku tidak mungkin berada dalam satu ruangan bersamanya. Sungguh intonasi bicaranya dan fluktuasi emosinya memaksa intuisiku membunyikan alarm perlindungan. Aku dalam bahaya. Aku menarik tanganku dari genggamannya. Tapi dia buru-buru menahan, lebih kuat.
“Bercintalah denganku!” Permintaannya berubah perintah. Cengkraman tangannya menindih bahuku dengan kasar. Aku nyaris hilang akal. Mengentak-entakkan tubuhku tak kalah kasar. Kugigit bahunya menepis tubuhnya dengan tubrukan yang keras. Tapi tangannya telah lebih dulu menarik tali baju mandiku, dan aku tersandung sandaran sofa sebelum mendarat jatuh di lantai. Begitu kerasnya hingga kurasakan sakit lebam di sekujur tubuh. Hanya serpihan beling yang teraba dan tanpa sempat berpikir kutohokkan di bahu, perut, dada dan bagian apa saja dari tubuhnya yang nyaris akan menangkapku lagi. Dia jatuh di atasku. Susah payah kutepiskan dia. Aku bangkit dan berlari menuju pintu.